LANGIT sedang cerah. Mentari bersinar lembut, nampak bersahabat dengan sekelompok anak muda yang dalam perjalanan menuju pantai pasir putih bernama Greenpeace. Enam anak muda yang ingin tamasya ini adalah teman sekelas di SMU Rex Mundi yang terletak di tengah kota bernama The Boulevard Little City, North Sulawesi, Indonesia. Mereka ingin menikmati musim panas di pinggir kota dengan banyak pulau itu.
“Ayo,
Monica! Kamu kan sudah janji mau ikut tamasya!” teriakan Diana, satu dari enam
sekawan itu diarahkan ke sebuah rumah tradisional berbahan serba kayu di pojok
jalan kota itu. Tanpa menunggu lama,
gadis bernama Monica itu muncul dari dalam rumahnya. Mereka pun meluncur ke
arah Greenpeace beach yang terletak sekitar 10 kilometer dari rumah gadis
cantik yang agak tomboy ini.
Dalam
perjalanan, Monica lebih banyak diam. Pandangannya hanya terpaku pada
rerumputan liar berwarna hijau di pinggir jalan yang mereka lalui dan pada
bunyi musik klasik dari headset Iphonenya. Tak dihiraukannya Hendrik si ganteng
dan humoris yang sedari tadi berusaha mencuri perhatiannya.
Monica
yang duduk di depan mobil jeep terbuka warna abu-abu itu, lebih banyak
tersenyum politis saat Hendrik bertanya basa-basi dengannya.
“Drrreeemmmmm…”
Bunyi ban mobil akibat di rem secara tiba-tiba menbahana di jalan sepi itu.
Hendrik yang menyetir mobil saat itu dan tindakannya sontak membuat Monica,
Diana, Vanessa, Mario dan Michael kaget dan binggung.
“Hanya
seekor ular hitam yang mau lewat. Aku tak ingin menganggunya…Sorry guys,”
Ucapan Hendrik itu diikuti tawa lebarnya karena melihat ekspresi teman-temannya
yang kaget bahkan ada yang wajahnya menjadi pucat. Kecuali Monica yang hanya
terus tersenyum dan tanpa sepatah kata.
Angin
yang ikut terdiam kembali menyapu rambut Monica yang hitam, panjang dan ikal
itu. Suasana yang sama dinikmatinya
sambil duduk dibawah sebuah payung pantai di Greenpeace beach. Kakinya yang
padat berisi, putih nan mulus itu cukup menyita perhatian sejumlah wisatawan
yang sedang menikmati liburan di lokasi itu.
“Ayo,
Monica kita berenang bersama!” Ajakkan itu seraya menarik kedua tangannya agar
segera terjun ke dalam air pantai yang segar itu.
Ketakutan
berada dalam laut bukanlah masalah bagi Monica yang sejak kecil sudah tahu
berenang. Ayahnya seorang pelatih renang dan ibunya mantan atlet renang yang
pernah mewakili kota kelahirannya bersaing hingga ke tingkat nasional.
Hampir
satu jam mereka bermain-main di kawasan pantai ini. Tiba-tiba satu per satu
pengujung mulai beranjak keluar dari pantai. “Langit sudah mendung. Tapi, belum
juga hujan atau gerimis turun mereka kok sudah berhenti menikmati air laut yang
segar ini.” Hendrik berusaha mendekati Monica yang sedari tadi tidak begitu
menikmati permainan Volly yang mereka mainkan di air.
Angin
memang mulai bertiup agak kencang tetapi langit masih di dominasi awan berwarna
biru. Suhu mendadak menjadi dingin. Tapi tak ada ombak sedikitpun.
“Ayo
kita sekali lagi berenang sebelum pulang. Aku ingin kita berlomba berenang
menuju palang batas pantai. Hanya ke situ lalu berenang lagi kembali ke pesisir
dan kita bergegas pulang. Gimana?” Ajakan Hendrik bak magnet.
Tanpa
menunggu lama, gagasan ini segera direalisasikan teman-temannya, termasuk
Monica pun ikut walaupun dalam benaknya “Ini ide gila.”
“Ayo!!!”
tantang teman-temannya, lalu tancap gas
menuju palang yang berjarak 50 meter dari bibir pantai itu.
Saat
itu, sudah ada seorang penjaga pantai usia separu baya yang meneriakkan
pengumuman agar pengunjung yang ada didalam air untuk ke tepi sebenar karena
diperkirakan akan ada badai. Begitupun saat sudah mencapai palang batas pantai,
pria penjaga pantai itu berteriak memperingatkan mereka. “Akan, ada badai.
Harap segera ke tepi.” Teriak seorang penjaga pantai lainnya. Kendati sudah mengunakan
seragam khas penjaga pantai yang bertuliskan ‘save your self and your
beautyfull beach’ namun teriakan melalui pengeras suara itu tak digubris para
wisatawan di situ.
“Ada-ada
saja penjaga pantai itu! Lautan tenang begini kok nyuruh kita ke tepian”
Vanessa merasa kesal tapi langkah kakinya tetap kearah tepian.
“Ayo
balik ke pantai. Perasaanku jadi gak enak juga nih,” Michael pun ikut menepi.
“Sebentar
lagi! Aku ingin menghela nafas dulu disini.” Diana masih menikmati buih-buih
ombak yang menepi bersama langkah kakinya.
Mario
dan Vanessa yang sudah berpacaran sejak setahun lalu ini tetap berada di dalam
air. Mereka berdua pun mencoba menikmati romantisnya berduaan di dalam air laut
biru itu. Begitu juga teman-temannya yang lain, Sambil tertawa kegirangan
mereka masih bermain-main di tengah laut itu.
Lima
menit mereka disitu lalu bergegas untuk berlomba-lomba berenang ke tepian
pantai. Namun, baru saja beberapa meter meninggalkan palang batas aman pantai
itu, tiba-tiba langit menjadi gelap. Cahaya matahari tak terlihat sedikitpun.
Kabut pekat tiba-tiba mengeliling mereka.
Keanehan
yang menyita perhatian Monica. Tiba-tiba Monica sudah berada di tengah-tengah
pusaran air yang datang bersamaan bunyi halilintar. Monika tak kuasa menahan
pusaran yang makin lama makin menariknya kedalam laut itu. Ia terhempas.
Terhempas ke dalam pusaran serupa sumur raksasa yang dalamnya tak berujung.
Hanya
beberapa detik saja Monica sudah tenggelam di bawa pusaran yang berbentuk
seperti ‘jendela’ terbuka itu. Ia hilang dari pandangan teman-temannya.
“Monica
ayo, Monica Cepatlah… Monica… Monica dimana kamu?” Teriakkan bagai angin lalu.
Monica sudah tak sadarkan diri dan hilang masuk dalam pusaran air itu. Kabut
putih serupa awan tebal itu masih mengelilingi mereka.
Teriakan
yang memanggil nama Monica, tiba-tiba hilang dari bawah alam sadar Monica. Tak
ada lagi suara-suara itu.. Awalnya terdengar makin jauh tapi kini hilang sama
sekali.
Michael,
Mario, Hendrik, Vanesa dan Diana sudah berada di pesisir pantai. Saat itu, awan
gelap disertai gerimis yang datang tiba-tiba itu sudah berhenti. Tetapi teman mereka Monica lenyap begitu saja
dalam sekejap mata.
***
Ombak
ganas saling menghantam di sebuah pantai negeri bernama Euro World. Awan gelap
masih menyelimuti negeri itu bersama hujan yang menguyur laksana air berisi
batu-baru kerikil yang paling halus di negeri itu. Halilintar saling menyambar.
Cahaya putih menyilaukan silir berganti di ujung laut negeri itu.
Sungguh suasana pulau dengan badai yang membuat malam
hari di Tanjung Peninsula, Euro World mencekam luar biasa.
Di
Tanjung Peninsula ini tinggal seorang wanita berusia paruh baya namanya
Victoria. Dia adik seorang raja penguasa Euro World bergelar King Jeremiah.
Victoria
tinggal bersama seorang pelayan setianya bernama Emma dan seorang penjaga kebun
bernama Marthin. Marthin juga seorang ahli obat-obatan.
Rumah
Victoria dikenal warga sekitar Desa Peninsula dengan sebutan Kastil Victoria.
Kastil ini terletak di tanjung yang dibawahnya persis terdapat ratusan tangga
menuju pantai pasir putih dan laut lepas yang indah. Landscape pantai pasir
putih itu persis seperti yang ada di Greenpeace beach yang ada di negeri yang
berbeda.
Rumah
berbentuk kastil minimalis berdesain Eropa Kuno ini merupakan tempat
persembunyian keluarga kerajaan Meares saat terjadi peperangan hebat dengan
kerajaan lain yang ada di Euro World.
Namun, di tahun ke tiga di Euro World ini situasi di negeri ini aman dan
terkendali kecuali alam yang seringkali tidak bersahabat.
Langit
masih gelap saat itu. Waktu di Euro World kira-kira pukul 04.00 subuh. Victoria
tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia mencoba melihat keadaan pantai yang sedari
tadi menganas karena badai. Pesisir pantai memang tampak dari jendela kamarnya.
“Emma,
Emma ayo bangun!” teriak Victoria yang sudah berada didepan pintu kamarnya.
“Ada
apa bunda, ada apa?” Emma.
“Aku
milhat benda aneh di pantai,” Victoria
gemetaran lalu memegang kedua tangan Emma yang bertubuh bongsor itu. Ia
tiba-tiba ketakutan.
Penasaran
dengan apa yang dilihat, Victoria dan Emma nekad menuruni seratus mata anak
tangga untuk melihat benda itu. Beruntung sudah tidak ada lagi hentakan suara
halilintar yang tadinya sempat memberi pijaran hingga benda itu terlihat
berkilau. Hanya saja gerimis masih tidak bersahabat.
“Oh
Dewa, Ini seorang gadis,” Emma.
“Apa
dia masih hidup?”
“Masih
bunda,”
“Kalau
begitu, Ayo selamatkan dia.” Victoria panik dan mondar-mandir di kastil itu.
“Terlalu
berat bunda. Saya panggil Marthin dulu.”
“Kamu
segera bangunkan dia. Biar saja tunggu disini. Ayo cepat cari Marthin.”
Victoria mendesak.
Victoria
mengusap air laut yang masih ada di wajah gadis ini. Gadis berparas cantik dan
dan polos. Tidak sedikit goresan di
wajahnya. Gadis ini tidak sadarkan diri kendati Victoria terus membangunkannya.
Sesekali Victoria mengoncangkan tubuh gadis berambut panjang ini.
Tak
lama kemudian, Marthin dan Emma datang. Hari masih gelap, jadi tak seorangpun
yang melihat gadis yang terdampar dan hanya menggunakan baju renang berwarna
ungu. Lagipula tidak semua warga bisa masuk di lokasi pantai milik keluarga
Meares ini.
“Mari
kita angkat dia ke Kastil.” Marthin berbicara dengan gagap yang sudah
menemaninya sejak lahi.
Pagi
pukul 07.00 di Euro World. Kicau burung bersahut-sahutan disela-sela sinar
mentari pagi yang menguning diantara kehijauan gunung dan tanjung di negeri nun
jauh ini. Angin seakan sedang menyanyi sendu setelah badai yang menghantarkan
gadis bernama Monica ini menembus ‘jendela waktu’ sehingga berpindah dari bumi
ke planet dan negeri yang hanya dikenal dengan satu sebutan yaitu Euro World.
“Bunda
istirahat saja, biarkan saya yang mengurus gadis ini,” ujar Emma kepada
Victoria.
“Baiklah.
Tolong kamu berikan dia pakaian yang layak, bila dia telah sadarkan diri. Tanya
dimana rumahnya dan suruh Marthin antarkan dia pulang. Mungkin dia anak warga
di Desa tetangga kita yang hanyut karena badai.” Victoria pergi meninggalkan
kamar tamu itu.
Saat
Emma sejenak ke dapur untuk mengambil air minum buat si gadis yang terdampar
dan ditemukannya itu.
Ruang
kamar tamu itu pun menjadi sepi. Hanya ada bunyi angis sepoi-sepoi yang memaksa
masuk dari celah jendela yang menghadap ke pemandangan pegunungan hijau yang
tampak tidak begitu jauh dari Tanjung itu.
Kamar
tamu tempat gadis ini berbaring memang terletak berseberangan dengan kamar
Victoria yang terletak menghadap pantai.
Dalam
kesepian itu, gadis itu tersadar. Kepalanya masih terasa sakit akibat hantaman
gelombang dan pusaran itu. Ia merasa
aneh dengan keberadaannya. Apalagi disetiap sisi pandangannya tertampak
hal-hal yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Gadis
ini mencoba menggerakkan jemari tangan dan kakinya agar bisa bangun dari tempat
tidur asing itu. Kakinya hanya bisa ditekuk dan perlahan-lahan Ia mencoba dalam
posisi duduk dan menghadap ke jendela.
“Tbrrek…”
Pintu kayu itu berbunyi ketika menyelip lantai. Emma membuka pintu dan menemukan gadis yang
ditemukan mereka itu sudah siuman. Emma hanya saling menatap dengan gadis itu.
“Kamu
sudah sadarkan diri?” tanya Emma seraya duduk mendekat ditempat tidur tempat
gadis itu terbaring.
“Saya
dimana?” Suara gadis itu lemah. Ia berusaha berdiri dari tidurnya tapi tak
kuasa. Ia memegang kepalanya seolah ada batu besar yang ingin dilepaskannya
dari dalam kepalanya itu.
“Kamu
ada di Kastil Bunda Victoria. Kami menemukan kau terdampar di tepi pantai tadi
malam,”
“Aku
harus segera pulang!” ucap gadis ini seraya berdiri mengambil sebuah kain
berbentuk kimono dan melangkah kearah anak tangga turun yang terletak di depan
ruang kamar itu.
Langkahnya
yang gesit, membuat Emma tak kuasa menghentikannya. Lalu, saat membuka pintu
keluar, mata gadis ini terbelalak. Ia hanya melihat pantai yang landscapenya
persis pantai pasri putih Greenpeace. Hanya saja tidak ada café, tidak ada
paying pantai dan tidak ada seorang pun disana.
Gadis
ini pun pingsan.
Emma
dan Marthin yang melihat hal itu segera membopongnya kembali ke kamar. Beberapa
menit kemudian, gadis ini siuman lagi. Saat itu Emma, Marthin dan Victoria sedang
menatapnya.
“Saya
ada dimana?” kata gadis itu.
“Kamu
ada di tempat yang paling aman dari sekian banyak tempat teraman yang ada di negeri Euro World,” tegas Victoria.
“Apa
Euro World?”
“Nama
negeri yang tanahnya kamu injaki sekarang ini,”
“Saya
kemarin berada di Greenpeace beach,”
“Tidak
ada nama daerah seperti itu di negeri ini,”
Mereka
saling menatap. Tentu saja mereka heran dengan perkataan dan perilaku gadis
dengan body proposional ini.
“Siapa
namamu?” tanya Victoria dengan nada lembut.
“Monica…”
jawab gadis itu lalu meneguk minuman yang disuguhkan Emma.
“Apakah
kamu ingat dimana dan apa yang kamu lakukan terakhir kali?” Victoria bertanya.
Dahinya berkernyit.
Monica
sejenak terdiam dan berpikir. “Saya
berenang dengan teman-teman… tiba-tiba ada badai lalu…”
Wajah
Monica berubah sedih.
“Apakah
kamu seperti ditarik sebuah gelombang?” Victoria bertanya sambil mondar-mandir
di situ.
“Iya
benar…” jawab Monica seraya meletakkan kedua telapak tangannya kewajahnya yang
bercahaya itu. Matanya yang berwarna cokelat muda itu berubah memerah karena
tangisan ketakutan yang dipendamnya akhirnya tercurah juga.
“Sudahlah…
kamu istirahat saja sekarang,” Victoria berusaha menenangkan walau dahinya
masih mengernyit. Ia pun keluar dari kamar itu menuju sebuah ruangan rahasia di
lantai dua kastilnya yang berisi ribuan buku-buku tua koleksi keluarganya
terun-temurun.
“Itu
pasti Jendela…!!!” ungkap Victoria saat membaca sebuah buku bersampul hijau tua
di perpustakaan kastil.
Yah,
Victoria mngetahui sesuatu tentang Monica. Sesuatu yang sama yang telah membuat
calon suaminya menghilang. Hal ini pula yang membuatnya berniat merawat Monica
seperti anaknya sendiri.
“Ada sebuah rahasia di gelombang itu.” Suara hati yang terus mengelisahkannya selama ini.
Satu
hari sudah terlewati. Monica tak mau banyak bicara. Ia hanya mengurung diri di
kamar. Ia berpikir dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ia harus mencari
jawaban pasti. “Aku harus bertahan.”
Hati Monica terus berbicara.
Kendati
ada rasa ragu, takut, bingung bercampur rindu terhadap teman dan kakak, ayah
dan ibunya.
Baru
saja mau merebahkan lagi tubuhnya ke tepat tidur , Victoria datang membawa buku
tebal bersampul hijau itu dan menunjukkannya kepada Monica. “Ini buku tentang
jendela. Jendela yang konon bisa memindahkan benda-benda apapun di negeri ini
ke sebuah negeri di dunia yang lain,”
“Maksudmu
mesin waktu?” Monica.
“Yah,
sesuatu seperti itu. Aku harap kamu bisa menerima bahwa saat ini kamu sedang
berada di negeri yang berbeda dengan negerimu. Bahkan jauh berbeda,” Victoria.
Perkataan
ini membuat wajah Monica pucat. Ada rasa kesal, takut dan binggung dibenaknya.
“Tenang
saja anakku. Kita akan cari jawabannya bersama. Yang terpenting sekarang, kamu
tinggal bersama saya dengan sehat dan baik-baik saja. Anggap saja aku ibumu.
Panggil saja aku Bunda seperti yang lainnya,” ucap Victoria dengan lemah lembut
itu.
Monica
pun memeluk Victoria seraya mengucapkan rasa terima kasihnya. Monica merasa
aman dan tentram saat berpelukan dengan wanita berketurunan bangsawan kerajaan
ini. Ada rasa damai dan bahagia dihati Monica maupun Victoria. Rasa yang membuat Monica teringat akan mimpi
buruknya sehari sebelum Ia dan teman-temannya ke Greenpeace beach.
Inilah
awal dari petualangan Monica di Euro World.
*bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar