Sabtu, 05 Juli 2014

BAB I : Terdampar di Euro World


LANGIT sedang cerah. Mentari bersinar lembut, nampak bersahabat dengan sekelompok anak muda yang dalam perjalanan menuju pantai pasir putih bernama Greenpeace. Enam anak muda yang ingin tamasya ini adalah teman sekelas di SMU Rex Mundi yang terletak di tengah kota bernama The Boulevard Little City, North Sulawesi, Indonesia. Mereka ingin menikmati  musim panas di pinggir kota dengan banyak pulau itu.

“Ayo, Monica! Kamu kan sudah janji mau ikut tamasya!” teriakan Diana, satu dari enam sekawan itu diarahkan ke sebuah rumah tradisional berbahan serba kayu di pojok jalan kota itu.  Tanpa menunggu lama, gadis bernama Monica itu muncul dari dalam rumahnya. Mereka pun meluncur ke arah Greenpeace beach yang terletak sekitar 10 kilometer dari rumah gadis cantik yang agak tomboy ini.

Dalam perjalanan, Monica lebih banyak diam. Pandangannya hanya terpaku pada rerumputan liar berwarna hijau di pinggir jalan yang mereka lalui dan pada bunyi musik klasik dari headset Iphonenya. Tak dihiraukannya Hendrik si ganteng dan humoris yang sedari tadi berusaha mencuri perhatiannya.

Monica yang duduk di depan mobil jeep terbuka warna abu-abu itu, lebih banyak tersenyum politis saat Hendrik bertanya basa-basi dengannya.

“Drrreeemmmmm…” Bunyi ban mobil akibat di rem secara tiba-tiba menbahana di jalan sepi itu. Hendrik yang menyetir mobil saat itu dan tindakannya sontak membuat Monica, Diana, Vanessa, Mario dan Michael kaget dan binggung.

“Hanya seekor ular hitam yang mau lewat. Aku tak ingin menganggunya…Sorry guys,” Ucapan Hendrik itu diikuti tawa lebarnya karena melihat ekspresi teman-temannya yang kaget bahkan ada yang wajahnya menjadi pucat. Kecuali Monica yang hanya terus tersenyum dan tanpa sepatah kata.

Angin yang ikut terdiam kembali menyapu rambut Monica yang hitam, panjang dan ikal itu.  Suasana yang sama dinikmatinya sambil duduk dibawah sebuah payung pantai di Greenpeace beach. Kakinya yang padat berisi, putih nan mulus itu cukup menyita perhatian sejumlah wisatawan yang sedang menikmati liburan di lokasi itu.

“Ayo, Monica kita berenang bersama!” Ajakkan itu seraya menarik kedua tangannya agar segera terjun ke dalam air pantai yang segar itu.

Ketakutan berada dalam laut bukanlah masalah bagi Monica yang sejak kecil sudah tahu berenang. Ayahnya seorang pelatih renang dan ibunya mantan atlet renang yang pernah mewakili kota kelahirannya bersaing hingga ke tingkat nasional.

Hampir satu jam mereka bermain-main di kawasan pantai ini. Tiba-tiba satu per satu pengujung mulai beranjak keluar dari pantai. “Langit sudah mendung. Tapi, belum juga hujan atau gerimis turun mereka kok sudah berhenti menikmati air laut yang segar ini.” Hendrik berusaha mendekati Monica yang sedari tadi tidak begitu menikmati permainan Volly yang mereka mainkan di air.

Angin memang mulai bertiup agak kencang tetapi langit masih di dominasi awan berwarna biru. Suhu mendadak menjadi dingin. Tapi tak ada ombak sedikitpun.
“Ayo kita sekali lagi berenang sebelum pulang. Aku ingin kita berlomba berenang menuju palang batas pantai. Hanya ke situ lalu berenang lagi kembali ke pesisir dan kita bergegas pulang. Gimana?” Ajakan Hendrik bak magnet.

Tanpa menunggu lama, gagasan ini segera direalisasikan teman-temannya, termasuk Monica pun ikut walaupun dalam benaknya “Ini ide gila.”

“Ayo!!!” tantang teman-temannya, lalu  tancap gas menuju palang yang berjarak 50 meter dari bibir pantai itu.

Saat itu, sudah ada seorang penjaga pantai usia separu baya yang meneriakkan pengumuman agar pengunjung yang ada didalam air untuk ke tepi sebenar karena diperkirakan akan ada badai. Begitupun saat sudah mencapai palang batas pantai, pria penjaga pantai itu berteriak memperingatkan mereka. “Akan, ada badai. Harap segera ke tepi.” Teriak seorang penjaga pantai lainnya. Kendati sudah mengunakan seragam khas penjaga pantai yang bertuliskan ‘save your self and your beautyfull beach’ namun teriakan melalui pengeras suara itu tak digubris para wisatawan di situ.

“Ada-ada saja penjaga pantai itu! Lautan tenang begini kok nyuruh kita ke tepian” Vanessa merasa kesal tapi langkah kakinya tetap kearah tepian.

“Ayo balik ke pantai. Perasaanku jadi gak enak juga nih,” Michael pun ikut menepi.

“Sebentar lagi! Aku ingin menghela nafas dulu disini.” Diana masih menikmati buih-buih ombak yang menepi bersama langkah kakinya.

Mario dan Vanessa yang sudah berpacaran sejak setahun lalu ini tetap berada di dalam air. Mereka berdua pun mencoba menikmati romantisnya berduaan di dalam air laut biru itu. Begitu juga teman-temannya yang lain, Sambil tertawa kegirangan mereka masih bermain-main di tengah laut itu.

Lima menit mereka disitu lalu bergegas untuk berlomba-lomba berenang ke tepian pantai. Namun, baru saja beberapa meter meninggalkan palang batas aman pantai itu, tiba-tiba langit menjadi gelap. Cahaya matahari tak terlihat sedikitpun. Kabut pekat tiba-tiba mengeliling mereka.

Keanehan yang menyita perhatian Monica. Tiba-tiba Monica sudah berada di tengah-tengah pusaran air yang datang bersamaan bunyi halilintar. Monika tak kuasa menahan pusaran yang makin lama makin menariknya kedalam laut itu. Ia terhempas. Terhempas ke dalam pusaran serupa sumur raksasa yang dalamnya tak berujung.

Hanya beberapa detik saja Monica sudah tenggelam di bawa pusaran yang berbentuk seperti ‘jendela’ terbuka itu. Ia hilang dari pandangan teman-temannya.

“Monica ayo, Monica Cepatlah… Monica… Monica dimana kamu?” Teriakkan bagai angin lalu. Monica sudah tak sadarkan diri dan hilang masuk dalam pusaran air itu. Kabut putih serupa awan tebal itu masih mengelilingi mereka.

Teriakan yang memanggil nama Monica, tiba-tiba hilang dari bawah alam sadar Monica. Tak ada lagi suara-suara itu.. Awalnya terdengar makin jauh tapi kini hilang sama sekali.

Michael, Mario, Hendrik, Vanesa dan Diana sudah berada di pesisir pantai. Saat itu, awan gelap disertai gerimis yang datang tiba-tiba itu sudah berhenti.  Tetapi teman mereka Monica lenyap begitu saja dalam sekejap mata.

***

Ombak ganas saling menghantam di sebuah pantai negeri bernama Euro World. Awan gelap masih menyelimuti negeri itu bersama hujan yang menguyur laksana air berisi batu-baru kerikil yang paling halus di negeri itu. Halilintar saling menyambar. Cahaya putih menyilaukan silir berganti di ujung laut negeri itu.

Sungguh  suasana pulau dengan badai yang membuat malam hari di Tanjung Peninsula, Euro World mencekam luar biasa.

Di Tanjung Peninsula ini tinggal seorang wanita berusia paruh baya namanya Victoria. Dia adik seorang raja penguasa Euro World bergelar King Jeremiah.

Victoria tinggal bersama seorang pelayan setianya bernama Emma dan seorang penjaga kebun bernama Marthin. Marthin juga seorang ahli obat-obatan.

Rumah Victoria dikenal warga sekitar Desa Peninsula dengan sebutan Kastil Victoria. Kastil ini terletak di tanjung yang dibawahnya persis terdapat ratusan tangga menuju pantai pasir putih dan laut lepas yang indah. Landscape pantai pasir putih itu persis seperti yang ada di Greenpeace beach yang ada di negeri yang berbeda.

Rumah berbentuk kastil minimalis berdesain Eropa Kuno ini merupakan tempat persembunyian keluarga kerajaan Meares saat terjadi peperangan hebat dengan kerajaan lain yang ada di  Euro World. Namun, di tahun ke tiga di Euro World ini situasi di negeri ini aman dan terkendali kecuali alam yang seringkali tidak bersahabat.

Langit masih gelap saat itu. Waktu di Euro World kira-kira pukul 04.00 subuh. Victoria tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia mencoba melihat keadaan pantai yang sedari tadi menganas karena badai. Pesisir pantai memang tampak dari jendela kamarnya.

“Emma, Emma ayo bangun!” teriak Victoria yang sudah berada didepan pintu kamarnya.

“Ada apa bunda, ada apa?” Emma.

“Aku milhat benda aneh di pantai,”  Victoria gemetaran lalu memegang kedua tangan Emma yang bertubuh bongsor itu. Ia tiba-tiba ketakutan.

Penasaran dengan apa yang dilihat, Victoria dan Emma nekad menuruni seratus mata anak tangga untuk melihat benda itu. Beruntung sudah tidak ada lagi hentakan suara halilintar yang tadinya sempat memberi pijaran hingga benda itu terlihat berkilau. Hanya saja gerimis masih tidak bersahabat.

“Oh Dewa, Ini seorang gadis,” Emma.
“Apa dia masih hidup?”
“Masih bunda,”
“Kalau begitu, Ayo selamatkan dia.” Victoria panik dan mondar-mandir di kastil itu.
“Terlalu berat bunda. Saya panggil Marthin dulu.”
“Kamu segera bangunkan dia. Biar saja tunggu disini. Ayo cepat cari Marthin.” Victoria mendesak.

Victoria mengusap air laut yang masih ada di wajah gadis ini. Gadis berparas cantik dan dan polos. Tidak  sedikit goresan di wajahnya. Gadis ini tidak sadarkan diri kendati Victoria terus membangunkannya. Sesekali Victoria mengoncangkan tubuh gadis berambut panjang ini.

Tak lama kemudian, Marthin dan Emma datang. Hari masih gelap, jadi tak seorangpun yang melihat gadis yang terdampar dan hanya menggunakan baju renang berwarna ungu. Lagipula tidak semua warga bisa masuk di lokasi pantai milik keluarga Meares ini.

“Mari kita angkat dia ke Kastil.” Marthin berbicara dengan gagap yang sudah menemaninya sejak lahi.

Pagi pukul 07.00 di Euro World. Kicau burung bersahut-sahutan disela-sela sinar mentari pagi yang menguning diantara kehijauan gunung dan tanjung di negeri nun jauh ini. Angin seakan sedang menyanyi sendu setelah badai yang menghantarkan gadis bernama Monica ini menembus ‘jendela waktu’ sehingga berpindah dari bumi ke planet dan negeri yang hanya dikenal dengan satu sebutan yaitu Euro World.

“Bunda istirahat saja, biarkan saya yang mengurus gadis ini,” ujar Emma kepada Victoria.

“Baiklah. Tolong kamu berikan dia pakaian yang layak, bila dia telah sadarkan diri. Tanya dimana rumahnya dan suruh Marthin antarkan dia pulang. Mungkin dia anak warga di Desa tetangga kita yang hanyut karena badai.” Victoria pergi meninggalkan kamar tamu itu.

Saat Emma sejenak ke dapur untuk mengambil air minum buat si gadis yang terdampar dan ditemukannya itu.

Ruang kamar tamu itu pun menjadi sepi. Hanya ada bunyi angis sepoi-sepoi yang memaksa masuk dari celah jendela yang menghadap ke pemandangan pegunungan hijau yang tampak tidak begitu jauh dari Tanjung itu.

Kamar tamu tempat gadis ini berbaring memang terletak berseberangan dengan kamar Victoria yang terletak menghadap pantai.

Dalam kesepian itu, gadis itu tersadar. Kepalanya masih terasa sakit akibat hantaman gelombang dan pusaran itu. Ia merasa  aneh dengan keberadaannya. Apalagi disetiap sisi pandangannya tertampak hal-hal yang tidak pernah dilihat sebelumnya.

Gadis ini mencoba menggerakkan jemari tangan dan kakinya agar bisa bangun dari tempat tidur asing itu. Kakinya hanya bisa ditekuk dan perlahan-lahan Ia mencoba dalam posisi duduk dan menghadap ke jendela.

“Tbrrek…” Pintu kayu itu berbunyi ketika menyelip lantai. Emma  membuka pintu dan menemukan gadis yang ditemukan mereka itu sudah siuman. Emma hanya saling menatap dengan gadis itu.

“Kamu sudah sadarkan diri?” tanya Emma seraya duduk mendekat ditempat tidur tempat gadis itu terbaring.

“Saya dimana?” Suara gadis itu lemah. Ia berusaha berdiri dari tidurnya tapi tak kuasa. Ia memegang kepalanya seolah ada batu besar yang ingin dilepaskannya dari dalam kepalanya itu.

“Kamu ada di Kastil Bunda Victoria. Kami menemukan kau terdampar di tepi pantai tadi malam,”

“Aku harus segera pulang!” ucap gadis ini seraya berdiri mengambil sebuah kain berbentuk kimono dan melangkah kearah anak tangga turun yang terletak di depan ruang kamar itu.


Langkahnya yang gesit, membuat Emma tak kuasa menghentikannya. Lalu, saat membuka pintu keluar, mata gadis ini terbelalak. Ia hanya melihat pantai yang landscapenya persis pantai pasri putih Greenpeace. Hanya saja tidak ada café, tidak ada paying pantai dan tidak ada seorang pun disana.

Gadis ini pun pingsan.

Emma dan Marthin yang melihat hal itu segera membopongnya kembali ke kamar. Beberapa menit kemudian, gadis ini siuman lagi. Saat itu Emma, Marthin dan Victoria sedang menatapnya.

“Saya ada dimana?” kata gadis itu.

“Kamu ada di tempat yang paling aman dari sekian banyak tempat teraman yang ada  di negeri Euro World,” tegas Victoria.

“Apa Euro World?”
“Nama negeri yang tanahnya kamu injaki sekarang ini,”
“Saya kemarin berada di Greenpeace beach,”
“Tidak ada nama daerah seperti itu di negeri ini,”

Mereka saling menatap. Tentu saja mereka heran dengan perkataan dan perilaku gadis dengan body proposional ini.

“Siapa namamu?” tanya Victoria dengan nada lembut.
“Monica…” jawab gadis itu lalu meneguk minuman yang disuguhkan Emma.

“Apakah kamu ingat dimana dan apa yang kamu lakukan terakhir kali?” Victoria bertanya. Dahinya berkernyit.

Monica sejenak terdiam dan berpikir.  “Saya berenang dengan teman-teman… tiba-tiba ada badai lalu…”
Wajah Monica berubah sedih.

“Apakah kamu seperti ditarik sebuah gelombang?” Victoria bertanya sambil mondar-mandir di situ.

“Iya benar…” jawab Monica seraya meletakkan kedua telapak tangannya kewajahnya yang bercahaya itu. Matanya yang berwarna cokelat muda itu berubah memerah karena tangisan ketakutan yang dipendamnya akhirnya tercurah juga.

“Sudahlah… kamu istirahat saja sekarang,” Victoria berusaha menenangkan walau dahinya masih mengernyit. Ia pun keluar dari kamar itu menuju sebuah ruangan rahasia di lantai dua kastilnya yang berisi ribuan buku-buku tua koleksi keluarganya terun-temurun.

“Itu pasti Jendela…!!!” ungkap Victoria saat membaca sebuah buku bersampul hijau tua di perpustakaan kastil.

Yah, Victoria mngetahui sesuatu tentang Monica. Sesuatu yang sama yang telah membuat calon suaminya menghilang. Hal ini pula yang membuatnya berniat merawat Monica seperti anaknya sendiri.

“Ada sebuah rahasia di gelombang itu.” Suara hati yang terus mengelisahkannya selama ini.
 
Satu hari sudah terlewati. Monica tak mau banyak bicara. Ia hanya mengurung diri di kamar. Ia berpikir dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ia harus mencari jawaban pasti.  “Aku harus bertahan.” Hati Monica terus berbicara.

Kendati ada rasa ragu, takut, bingung bercampur rindu terhadap teman dan kakak, ayah dan ibunya.

Baru saja mau merebahkan lagi tubuhnya ke tepat tidur , Victoria datang membawa buku tebal bersampul hijau itu dan menunjukkannya kepada Monica. “Ini buku tentang jendela. Jendela yang konon bisa memindahkan benda-benda apapun di negeri ini ke sebuah negeri di dunia yang lain,”

“Maksudmu mesin waktu?” Monica.

“Yah, sesuatu seperti itu. Aku harap kamu bisa menerima bahwa saat ini kamu sedang berada di negeri yang berbeda dengan negerimu. Bahkan jauh berbeda,” Victoria.

Perkataan ini membuat wajah Monica pucat. Ada rasa kesal, takut dan binggung dibenaknya.

“Tenang saja anakku. Kita akan cari jawabannya bersama. Yang terpenting sekarang, kamu tinggal bersama saya dengan sehat dan baik-baik saja. Anggap saja aku ibumu. Panggil saja aku Bunda seperti yang lainnya,” ucap Victoria dengan lemah lembut itu.

Monica pun memeluk Victoria seraya mengucapkan rasa terima kasihnya. Monica merasa aman dan tentram saat berpelukan dengan wanita berketurunan bangsawan kerajaan ini. Ada rasa damai dan bahagia dihati Monica maupun Victoria.   Rasa yang membuat Monica teringat akan mimpi buruknya sehari sebelum Ia dan teman-temannya ke Greenpeace beach.

Inilah awal dari petualangan Monica di Euro World.

*bersambung


 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar