Sabtu, 05 Juli 2014

BAB II : Kebun Anggur Victoria

DUA hari kemudian. Monica sudah merasa pulih dan bisa berdiri tegap dari tempat tidurnya. Ia melihat aktivitas Emma dan Marthin yang sibuk memasak dan membersihkan ruangan maupun taman kastil. Ia tertarik untuk membantu pekerjaan mereka dan juga ada rasa ingin mengenal mereka lebih dekat.

Betapa terkagum-kagumnya Monica saat menyaksikan sekeliling kastil Victoria yang indah. Di sisi timur terdapat pemandangan hamparan pantai pasir putih. Di utara terdapat padang rumput hijau seterusnya hutan nanhijau. Di sisi barat terdapat pemandangan dataran dan pegunungan yang indah. Lalu di sisi selatan  terdapat pemandangan berupa bukit-bukit dan diantaranya ada kebun anggur yang ternyata milik Victoria.

“Tempat ini adalah surga bagiku. Tenang dan jauh dari masalah,” kata Victoria lalu mengajak Monica duduk di sebuah bangku kayu berukir gambar sepasang kuda yang sedang saling menatap yang terletak di bawah pondok, di pojok halaman kastil itu.

Mereka duduk disitu lalu saling berbicara tentang banyak hal. Monica pun bertanya banyak tentang Euro World.

“Lantas, mengapa Bunda tidak tinggal di Istana keraajaan?” Tanya Monica saat mengetahui Victoria adalah adik kandung raja penguasa negeri itu.

“Saya ingin menyendiri disini. Saya capek dengan kehidupan politik di Istana kerasaan. Apalagi kepergian Raimon –calon suaminya- membuatku sedih dan seolah-olah hidup ini tiada artinya lagi,” Victoria.

“Apa yang terjadi?”  Monica.

“Kira-kira 17 tahun yang lalu. Ayahku hampir meninggal karena gagal jantung. Sebelum meninggal, dia ingin sekali melihat aku segera menikah. Agar lengkap sudah aku dan Jeremiah (King of Meares) telah berkeluarga. Namun saat itu, sedang ada perang karena perebutan kekuasaan. Calon suamiku yang adalah pimpinan panglima perang pasukan Meares ditugaskan mengejar sekelompok prajurit terpilih dari Newmont Kingdom musuh kerajaan kami yang sebelumnya telah berpura-pura menjadi rombongan tabib untuk menyembuhkan ayah saya. Entah apa yang terjadi, kabarnya empat tabib itu terbunuh tetapi dalam pengejaran itu, Raimon hilang saat mengejar seorang diantara mereka hingga ke tengah laut,” cerita Victoria.

Matanya mulai berkaca-kaca, Ia pun berdiri tetapi terus melanjutkan cerita tentang calon suaminya yang mayatnya tak ditemukan itu. “Menurut anak buahnya, setelah menenggelamkan perahu kecil yang dipakai tabib-tabib itu untuk melarikan diri, Raimon terjatuh kedalam pusaran air. Semua prajurit mengatakan Ia mati karena tenggelam. Namun aku tak akan percaya karena sampai saat ini sosok tubuhnya tak pernah ditemukan,” lanjut Victoria.

Apa yang telah dikatakan Victoria itu membuat hati Monica tersentuh dan tercabik-cabik. Apalagi teringat nasib dirinya yang telah terpisah jauh dari kedua orangtua dan kakak laki-lakinya bernama Eric.

“Eh, Victoria, bisakah kamu ceritakan tentang kebun anggurmu? Kata Emma ada rumah kaca disana? Benarkah?” ungkap Monica bermaksud mengalihkan pembicaraan agar Victoria tak terpaku pada kenangan sedih masa lalunya.

“Oh iya, Kamu bisa berkuda? Atau kita naik kereta kuda saja bersama Marthin. Aku ada keberluan disana. Aku mau ajak kamu kesana supaya kamu bisa melihat suburnya daerah pertanian di kawasan ini. Ini pula yang membuat Meares Kingdom sejahtera dan banyak orang-orang jahat ingin menguasai negeri ini,” katanya.

Tak lama kemudian, Marthin sudah stanby dengan karena kudanya sesuai perintah Victoria.

Monica dan Victoria berkeliling kebun Anggur yang terletak hanya sekitar 2 kilometer dari kastil Victoria. Siang itu menjadi ceria bagi Monica karena Ia bisa merasakan keindahan alam di negeri itu.

Betapa terkagum-kagumnya Monica melihat keindahan kebun yang tertata rapi itu. Selain serentetan kebun anggur yang siap panen itu, kebun ini juga terdiri dari hamparan kebun berbagai jenis bunga yang laris dipakai kaum bangsawan atau kaum gerejawi. Wangi mawar yang benar-benar membuat Monica seakan sedang berada di surga.

Taman bunga ini terletak disudut kebun anggur yang luasnya sekitar 2 hektar ini. Harapan padang bunga ini sangat luas. Diakhir padangan matapun hanya terlihat pohon-pohon hijau dengan batangnya yang besar dan berdiri kokoh.

“Monica ayo kita mampir kerumah penjaga Kebun ini,” ajak Victoria seraya mengarahakan jari telunjuknya kesebuah rumah dari kayu yang terletak disebelah barat kebun anggur itu.

Victoria  dan Monica pun berjalan berdampingan menuju rumah milik keluarga Manstill yang sudah bertahun-tahun dipercayakan Victoria dan keluarga kerajaan untuk mengurus kebun anggur itu. Sementara, Marthin sudah ada disitu setelah selesai mengistirahatkan kereta kuda yang tadi mereka  tumpangi.

Di depan teras rumah itu berjejer beberapa pria dan perempuan. Diantaranya ada seorang anak kecil dengan kulit kecokelatan dan senyum yang lebar saat memandangi Monica. Bocah kecil itu sedang memegang tangan seorang pria yang kelihatan berumur tidak jauh berbeda diatasnya. Wajah mereka berdua sama, kecuali ukuran tubuh lelaki yang tidak tersenyum itu lebih tinggi dan terbilang sangat tinggi.

“Perkenalkan ini sahabat-sahabat terbaik saya dan sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri,” ungkap Victoria lalu Dia memeluk satu persatu orang-orang yang berdiri dengan tegap didepan mereka itu.

Veronica melanjutkan dengan acara perkenalan. “Ini Rudrer kepala keluarga disini. Mariam ibu para anak-anak, Johan si bungsu, Rugby satu-satunya anak gadis disini dan Anthony anak tertua disini.” Setelah memperkenalkan satu persatu nama mereka, barulah orang-orang ini berani mengakat wajahnya. Ternyata walaupun Victoria sudah menganggap mereka keluarga sendiri tetapi mereka tetap sangat menghormatinya dan terbiasa memperlakukannya sebagai kaum bangsawan dinegeri itu. Mereka pun tidak berani Tanya siapa gadis yang berdiri bersama Veronica tetapi mungkin Marthin sudah memberitahu mereka tentang Monica.

Dilubuk hati yang paling dalam ada rasa bahagia karena dia sudah bisa bertemu warga desa selain Victoria, Emma dan Marthin. Monica terlalu bosan untuk setiap hari hanya bertemua dengan orang-orang ini walaupun dia sangat mencintai mereka. Apalagi setelah Ia tahu bahwa Rugbi dan Anthony ternyata seumuran dengannya.

Rudrer Manstill dan keluarganya adalah keturunan suka bangsa INMER –suku seperti Indian – Suku ini dianggap ras paling rendah dalam masyarakat Euroworld. Selain suku Inmer ada juga suku-suku lain tetapi suku jetmer dengan ciri khas kulit cokelat yang paling mendominasi.

“Bulan depan, kita sudah bisa mulai panen besar. Sekarang pun saya sudah membawa beberapa kantong untuk dijual Rugby dan Anthony ke pasar Motherland di kota,” kata Rudrer kepada Victoria seraya mengajak mereka melihat-lihat situasi di sebuah gedung penampungan hasil panen yang terletak tak jauh dari letak rumahnya.

Digudang tua itu terdapat alat pemerah anggur. Ada juga drum-drum dan keranjang-keranjang yang biasa dipakai untuk menampung hasil panen anggur.

Dalam kunjungan ini Monica tak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan teman baru. Dia pun mengajak Rugby bicara. Rugby ternyata sangat lebih responsif dari yang diperkirakannya.

“Nona Monica, apakah kamu suka buah anggur,” tanya Rugby.

Walaupun terkesan pertanyaan bodah namun Monica sangat senang Rugby menanyakan hal itu kepadanya.

“Suka,” jawab Monica lalu tersenyum. 
 “Nona Monica berapakah usiamu?” Tanya gadis berambut hitam panjang ini lagi.
“17 Tahun dan kamu?”
“Saya 17 tahun juga. Kakak saya Anthony 18 tahun dan adik saya Johan masih 5 tahun.”

Monica tersenyum. 
“Apakah kamu sekolah?” Monica berusaha akrab.
“Iya, setiap dua minggu sekali. Sekolahnya di kota untuk belajar musik dan tarian,” kata Rugby.

Kendati masih merasa binggung dengan definisi sekolah yang dimaksudkan Rubgy namun Monica hanya tersenyum bahwa Rugby adalah gadis yang jujur, baik dan lemah lembut.

Saat melangkah keluar dari gudang penampungan anggur itu, Monica tampak ceria. Keceriaan yang sudah lama tidak tergoes diwajahnya sejak terdampar di Euroworld. Setidak-tidaknya saat ini Ia bisa berbicara beberapa hal tentang sesame remaja putrid dengan Rugby di mata elang ini – julukan yang diberikan kakaknya.

Setelah berbincang-bincang dan makan siang dengan keluarga Manstill, Monica, Veronica dan Marthin bergegas pulang.

“Nona Monica, kapan saja kau bisa datang ke sini untuk berkunjung. Rugby dan Anthony bisa membawamu keliling kebun Anggur dan melihat pemandangan disekitar bukit dengan berkuda. Itu sangat menyenangkan,” kata Nyonya Mariam kepada Monica.

Monica yang sedang meneguk air minum sempat kaget mendengar kata berkuda karena Ia belum pernah melakukan hal tersebut didunianya sekalipun. Pernah sekali dikebun Binatang saat masih berada di The Boulevard Little City North Sulawesi namun baru saja naik Ia sudah jatuh karena tidak tahu letak pedal naiknya dimana.

“Saya merasa terhormat dengan ajakan anda. Kalau diizinkan Bunda Victoria saya pasti akan sangat senang kesini,” kata Monica mencoba bicara santun.

“Tentu saja kamu bisa my sweetheart,” ternyata Victoria mendengarkan pembicaraan mereka. Ketiga wanita ini pun saling tersenyum.

Setelah berpamitan mereka diantarkan seluruh anggota keluarga Manstill ke kereta kuda yang sudah stanby dan didepan sudah duduk rapi Marthin yang siap mengemudikan kereta kuda kembali ke kastil Victoria.

Sebelum naik kereta kuda sekilas Monica terpaku pada wajah Anthony yang turut mengantarkan mereka kendati Ia sedang repot di gudang Anggur. Tatapan mereka beradu namun secepat kilat, Monica menepiskan tatapan itu karena Ia merasa malu kontak mata dan dipandangi tanpa berkedip sedikitpun.

Bukan hanya paras Anthony si rambut hitam cemerlang itu yang membuat matanya terbelalak tetapi caranya berkuda saat ingin mengantarkan mereka pulang.

Dalam perjalanan pulang ke Kastil Victoria, mereka pun berbincang-bincang tentang bagaimana cara belajar mengedarai kuda. Sejatinya, Monica sangat sedang mendengar hal ini karena dia di negeri ini tidak ada mobil hanya ada kuda dan kereta kuda sebagai alat transportasi.

“Kalau kau ingin berkuda, kamu boleh memakai kuda kesayangan saya namanya The White. Dia itu kuda yang punya feeling,” kata Victoria.

“Apakah kamu punya banyak kuda?” tanya Monica.

Pertanyaan Monica itu membuat Victoria dan Marthin tertawa terbahak-bahak. Alasannya? Karena berkuda adalah hal yang lazim di Euroworld.

“Hahahaha…” Monica pun hanya bisa ikut tertawa.

*bersambung*















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar