Sabtu, 05 Juli 2014

BAB III : Meares Kingdom

SUDAH sekitar seminggu Monica terdampar di Euroworld. Pada suatu hari ketika Ia sedang tertidur dikamarnya, sekitar pukul 04.00 subuh, ada seseorang yang masuk secara diam-diam ke kamarnya.

Gadis tomboy ini kontan terjaga dari tidurnya. Saat langkah kaki orang ini berkali-kali mondar-mandir dari arah pintu kearah kamar jendela, Monica pun merasa teracam. Apalagi postur tubuh tinggi ini tampak sedang memakai jubah dan baju dengan perisai perak lengkap dengan pedang di samping pinggangnya.

Setelah beberapa menit, sosok tinggi besar, kekar namun agak kurus ini terdengar seolah-olah mengambil posisi duduk. Di ruangan ini hanya terdapat satu sofa yaitu di depan jendela yang lataknya agak jauh dari tempat tidur.

Kamar saat itu sangat gelap lagipula saat mau tidur Emma memperingatkan agar tidak boleh ada lilin ataupun lentera yang menyala didalam kamar.

“Menyebalkan dunia tanpa listrik ini,” kata hati Monica menyadari situasi genting saat itu.

Monica menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Ia terus berpikir bahwa kamarnya sudah kemasukan penyusup. Bagaimana caranya mengeluarkan penyusup ini dari kamarnya? Hanya itulah yang ada dibenak Monica.

“Apakah dia pencuri, penjahat dari kerajaan seberang? Aku harus punya cara menghadapinya. Aku harus bisa mengandalkan jurus-jurus karate yang diajarkan Papa,” kata Monica mencoba memberi penguatan kepada dirinya sendiri.

Sementara itu, sesosok pria penyusup ini tengah berdiri di depan jendela kamar menghadap keluar kastil. Posisinya membelakangi Monica.

Perlahan-lahan Monica mencoba mengerakkan badannya dari tepat tidur itu. Ia mencoba mengapai sebuah senapan tua di belakang pintu kamar. Ia sendiri tidak begitu yakin ada senapan diantara mantel-mantel tua itu, hanya saja Victoria pernah meyakinkannya kalau setiap kamar di Kastil ini terdapat senapan dibelakang pintunya. Semacam hiasan dan tentu saja bisa digunakan disaat-saat genting seperti yang dihadapai Monica saat ini.

Belum sempat melangkah untuk membuatr tubuhnya dalam posisi berdiri, sosok ini tiba-tiba menuju kearahnya. Makin mendekat. Cahaya remang-remang dari depan tangga lantai dasar kastil membuat Monica bisa melihat dengan jelas bahwa langkah-langkah itu memang menuju kepadanya.

“Ini bukan mimpi. Celakalah aku kalau harus membunuh atau dibunuh saat ini,” pikir Monica.

Tepat disaat Monica akan mencoba bangkit untuk mengapai senapan dibelakang pintu masuk itu, disaat yang sama sosok ini merebahkan tubuhnya ke tempat tidur itu. “Bukkkk,” sesosok itu merebahkan tubuhnya dikasur yang sama dan tepat sosok ini membaringkan diri disampingnya Monica. Disaat yang sama Emma datang. Sangat jelas bagi Monica untuk mendengarkan langkah kaki Emma.

Lentera yang dibawah Emma membuat ruangan itu tampak terang benderang dan cukup leluasa untuk melihat dan mengawali wajah orang yang ada diruangan itu.

“Aku tak bisa bergerak. Kenapa yah. Kenapa?”
Monica ternyata tak bisa mengerakkan tubuhnya karena disaat sosok ini merebahkan tubuhnya diatas selimut kasur itu, selimut yang dipakai Monica itupun berubah menjadi seperti karung besar yang menyekapnya untuk dibopong kemana-mana.

Monica tak bisa bergerak. Mulutnya pun terdiam. Ketika cahaya sudah menerangi seluruh ruangan itu, sosok itu ternyata seorang pria. Pria ini berpapasan wajah dengan Monica diatas kasur itu. Mereka saling menatap dalam posisi tidur itu.

“Awhhhhhhhhhh…siapa kamu?” teriakan ini mengema di Kastil secara bersamaan. Perkataan yang persis intonasi dan susunannya terpancar dari mulut Monica dan pria ini. Teriakan ini tentu saja membuat seluruh isi kastil terjaga.

Pria ini sudah berdiri tegap demikian Monica. Monica tanpa hitungan detik langsung mengambil senapan di belakang pintu kamar itu. Bersamaan dengan pria ini yang langsung mengambil pedang yang baru saja Ia letakkan diatas kursi depan jendela tempat di mana jubahnya diletakkan. Monica dan pria ini bersamaan juga saling menodongkan senjata yang mereka pegang masing-masing ditangannya.

“Hentikan! Hentikan!..Tenang! Tenang!” teriak Victoria yang tiba-tiba sudah berada dikamar itu. Tentu saja pasti karena keributan yang terjadi tengah malam hari itu.
“Turunkan senjata kalian. Kita ini keluarga!”

Semuanya terdiam. Tiba-tiba... “Brukkkk…” Emma jatuh pingsan.
Rupanya Emma pingsan karena terkejut melihat saling todong-menodong dengan senapan yang baru saja terjadi didepan matanya.

Untunglah Marthin segera menangkap lentera dari tangan Emma. Seperti pohon yang jatuh begitulah Emma. Marthin membaringkan Emma. Tanpa menghiraukan situasi saat itu Monica langsung membantu Marthin. Apakah Emma benar-benar pingsan ataukah dia meninggal?

“Bibi, ada apa ini? Siapa dia yang berani-beraninya tidur di kamar saya ini?” ujar sesosok ini sembari memasukkan kembali pedang disarungnya. Sebuah sarung berwarna cokelat yang bertuliskan sebuah lambang dan tulisan “meares.”

Pemandangan itu membuat Monica berpikir bahwa sesosok pria itu yang bertubuh tinggi, berbadan atletis dengan rambut pendek lurus ini adalah anggota keluarga kerajaan Meares.  Monica belum menghiraukan hal itu. Tak ada sepatah katapun terlontar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan ketus dari seorang pria yang tiba-tiba berada di dalam kamar di situ. Perhatiannya terpaku kepada Emma yang belum sadar dari pingsannya.

“Wahai Richard keponakanku, pajang ceritanya,” kata Victoria seraya merangkul pundak dan mengajak Pangeran Richard-anak sulung King Jeremiah Penguasa Meares Kingdom- keluar dari kamar itu. Dalam keremangan mereka melangkah ke ruangan lain di Kastil itu, Richard terus menatap tajam kearah Monica. Cahaya lentera membuat keduanya berusaha menatap untuk menunjukan kegeramam masing-masing.

Tak ada senyum dari wajah Monica. “Biarpun kamu pangeran, kalau terjadi apa-apa pada Emma, aku akan menghajarmu,” koar Monica. Untunglah perkataan itu hanya didengar Marthin. 

“Jangan begitu Nona. Pangeran itu orangnya baik. Bahkan hanya Pangeran Richard yang setiap awal bulan datang menginjungi Nyonya Victoria. Keluarga kerajaan yang lain mana pernah?” kata Marthin lalu tersenyum.

Emma akhirnya siuman. Ia menggerang. Kala itu, Monica sudah tertidur pulas pada posisi duduk menghadap Emma yang tengah dibaringkannya ditempat tidur. Emma mengusap wajah Monica, mengungkapkan rasa terima kasih dan simpatinya terhadap gadis yang telah kehilangan keluarga dan dunianya ini.

Monica masih tertidur. Emma tak mau membangunkannya. Emma segera menuju ke dapur dengan perasaan lega bahwa sudah tidak ada kesalahpahaman diantara Monica dan Pangeran Richard yang beru saling kenal itu.

                                                ***

Sungguh pagi yang indah. Mentari kuning menyoroti kuncup-kuncup bunga mawar di taman kastil. Wangi bunga-bunga yang bermekaran itu ikut menyeruak ke seluruh isi ruangan kastil. Kicauan burung dan desahan bunyi ombak menyatu seolah sedang berbisik berbarengan dan membuat suasana hari itu seperti sebuah vila yang sangat nyaman untuk menjadi tempat peristirahatan.

Waktu sarapan pun tiba. Kali ini, meja sarapan lengkap dengan peralatan makan lainnya sudah tertata rapi di taman depan Kastil. Maklum saja, jika berkunjung ke kastil Bibinya, Pangeran Richard selalu meminta kepada Bibinya agar sarapan dilakukan di ruang alam terbuka. Ia merasa terkunkung dan bosa denhan tata cara makan di ruang kerajaan. “Terlalu kaku” kata Pangeran Richard.

“Tolong panggilkan Monica. Kita sarapan bersama  disini,” kata Victoria kepada Emma.
Sementara itu, Pangeran Richard tengah duduk rapi tepat disamping kanan Victoria. Richard terlihat tak sabar melahap roti panggang dan sayur-sayuran segar yang dimasak Emma.

“Saya sudah sangat amat merindukan masakan Emma,” kata Richard seraya melirik tajam e arah meja yang berukuran untuk menja makan 6 orang ini.

“Bunda (Victoria), Monica tak ingin sarapan. Katanya dia masih kenyang,” lapor Emma yang baru saja turun dari kamar Monica.
“Sudahlah, itu mungkin kebiasaan dinegerinya. Beberapa kali dia tidak mau sarapan, mungkin dia teringat keluarganya jika sarapan, Yah, Emma tolong kamu bawakan saja sarapan ke kamarnya yah,” ungkap Victoria.

Tanpa basa-basi setelah melipat tangan dan berdoa kepada Tuhan sejenak, Richard, Victoria, Emma dan Marthin mulai sarapan. Di kastil ini, Victoria tidak mau menganggap Emma dan Marthin adalah pembantunya (bawahan) dia berusaha bersikap sebagai warna Negara biasa. Hal inilah yang membuat Richard sangat menganggumi bibinya ini.

“Berapa lama kamu akan tinggal?” Tanya Victoria.
“Rencananya 2 hari,” jawabnya seraya tetap mengunyah  makanannya.
“Bibi berharap kamu bisa tinggal lebih lama,” kata Victoria.
“Situasi di Istana belum stabil. Belum lama ini ada penyusup yang masuk.”
‘Penyusup dari mana?”
“Newmont Kingdom!”

Jawaban Pangeran Richard ini membuat Victoria terdiam sejenak. Ia teringat akan suaminya.
"Maafkan aku Bibi..Maaf,” kata Richard melihat raut wajah Victoria yang tiba-tiba muram.
“Oh iya Bi. Aku dan Marthin sudah sepakat hari ini kami akan membersihkan kolam ikanmu. Benar kan Marthin?” ujar Richard berhasil membuat Victoria kembali tersenyum.
“Iya saya akan membantu pangeran,” kata Marthin yang sudah berhenti dari sarapannya.

Hingga waktu sarapan selesai, Monica masih mengurung diri dikamarnya. Ia rupanya terpaku pada buku bersampul hijau tua yang diberikan Victoria.
Tiba-tiba teriakan Emma dari lantai bawah menyebut namanya.

“Monica..Rugby dan Anthony mencarimu. Mereka ingin mengajakmu berkuda ke kota. Apakah kamu hanya ingin berdiam diri dikamar?” seru Emma dari taman depan jendela kamar Monica.

“Suruh mereka tunggu yah,” koar Monica yang sangat senang dengan informasi dari Emma ini.
Hanya beberapa menit saja, langkah Monica sudah meramaikan anak tangga Kastil. Ia mengenakan gaun berwarna putih gading milik Victoria sewaktu muda. Rambutnya tergerai indah. Ia belum mandi, namun kecantikannya seperti mawar merah yang sedang bersemi di taman kastil itu.

Monica menuju ke depan kastil untuk menemui Rugby dan Anthony. Saat melewati kolam di mana Richard, Vicoria, Emma dan Marthin sedang bersih-bersih, decak tawa menyeruak lebar. Rupanya ada yang salah dengan kostum Monica.

“Monica. Sebaiknya kamu pakai sepatu boot,” ujar Emma yang masih tertawa melihat Monica yang akan berkuda namun lupa memakai sepatu. Monica bahkan turun tanpa alas kaki.

Langkah cepatnya terhenti, menyadari hal itu. Ditatapnya kakinya yang putih bersih itu sehingga rambutnya tergerai menutupi wajahnya.

“Oh iya, sepatu boot,” ujar Monica seraya mengangkat kembali wajahnya lalu berbalik arah mencari sepatu boot di dalam kastil itu.

Pancaran sinar wajah dari gadis polos ini rupanya membuat Pangeran Richard terpana tapi kejadian tadi malam membuat Richard masih menaruh binci kepada Monica. “Gadis ini terlalu cantik untuk seseorang yang diusir dari rumahnya,” bisik Richard dengan sedikit senyum sinisnya kepada Marthin.

“Iya, benar Pangeran. Curiga itu wajar karena kita tak tahu daerah asalnya,” kata Marthin yang menyimak perkataan itu. Pangeran Richard dan Marthin pun saling bertatapan. Pangeran Richard tersenyum sinis. Mereka lalu kembali membersihkan isi kolam yang sudah mulai dangkal itu.

Selang beberapa menit kemudian, Monica melintas lagi didepan kolam itu. Saat berjalan dari pintu utama kastil, menuju pagar yang berjarak sekitar 20 meter, Richard tampak curi-curi padang pada gadis yang berasal dari The Boulevard City ini. Victoria dan Emma mengantarkan Monica hingga digerbang pintu Kastil. Disitu sudah ada Rugby dengan kuda cokelatnya bernama ‘Betty’ dan Anthony dengan kudanya bernama ‘Missing’ dan ada seekor kuda berwarna putih yang stanby disitu.

“Monica, aku percayakan ‘The White Horse kepadamu. Semoga dia isa membuatmu nyaman,” kata Victoria kepada Monica. 
“Oh Bunda, kuda ini terlalu cantik. Harganya pasti mahal kalau dijual..Aku bercanda,” kata Monica lalu mencoba menaiki kuda putih ini.

“Jeglek..” Bunyi pelana tersrempet sepatu. Monica hampir jatuh saat mencoba menaiki kuda ini, Untung saja Anthony secepat kilat langsung menggengam Monica sehingga tak berakhir jatuh ke tanah.
“Hati-hati Tuan Puteri,” ujar Anthony.
“Panggil aku Monica saja sebab aku bukan putri. Aku lahir dari keluarga biasa-biasa bukan keluarga bangsawan yang sombong,” bisik Monica sedikit milirik kepada arah kolam tepatnya ingin menyindir Richard.

Mereka bertiga pun sambil tertawa lebar pamit kepada Victoria dan Emma lalu berangkat menuju Kota. Ada sedikit perasaan khawatir dihati Victoria dan Emma karena situasi perang saudara sejak 100 hari tahun silam membuat banyak penyusup masuk ke kota Meares.
“Tenang bunda. Ada prajurit di setiap penjuru Kota. Sudah saya suruh kurir untuk menjaga Monica,” kata Emma menjawab kekhawatiran yang terpancar dari wajah Victoria.
"Kamu memang yang terbaik Emma,” ucap Victoria lalu  bersama Emma berjalan menuju kolam lagi.

                                                *** 
Pusat Kota Meares Kingdom terletak sekitar 45 kilometer bila melalui jalan darat dari Kastil Victoria. Dengan berkuda membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai dilokasi.

Di Kota ini terdapat penduduk yang beraktivitas layaknya kota-kota yang ada di dunia nyata The Boulevard City. Setidak-tidaknya itulah yang ada dalam benak Monica saat melihat aktivitas barter di pasar, cafe, dengan banyak wanita penghibur atau lelaki hidung belang. Lalu ada sekolah music dan sekolah kepribadian.

Ada juga toko ‘Majesty’ sebuah toko pakaian yang membuat mata monica terbelalak. Bukan karena model trendy yang ada di dalamnya tapi karena busana klasik yang terpajang dan da sudah nampak dari seberang jalan sekalipun.

“Aku ingin melihat-lihat pakaian di toko itu,” kata Monica kepada Anthony dan Rugby ketika tiba di tempat khusus untuk memarkir kuda di sebuah sisi di kota itu.
 
“Rugby antarkan Monica. Aku akan membawa anggur-anggur ini ke pasar. Aku tak bisa membuat pelanggan-pelanggan itu menunggu lebih lama,” Anthony seraya membawa dua keranjang besar berisi anggur-anggur hitam yang masih pada tandannya.

Saat sedang melihat-lihat pakaian di toko itu, suasana took tiba-tiba menjadi hening. Para pelayan  dan pembeli Nampak was-was, saat seorang gadis muda –sepertinya anak bangsawan-- masuk ke toko itu.

Gadis cantik itu tidak menampilkan senyum. Tampak angkuh dari gambaran dagunya yang terangkat ke atas sambil melirik kanan-kiri. Berjalan sambil melambai-lambaikan kipasnya yang berwarna keemasan.

Tiba-tiba, gadis itu mendekat ke arah Monica dan Rugby. Lalu Ia mengambil baju berwarna ungu muda yang sedang dipegang Rugby.

“Hey, nanti dulu nyonya bermata kucing. Apa kamu tidak lihat gaun ini sedang dilihat konsumen lain. Jangan sembarang merebut begitu dong. Pakai sopan santun!” Monica emosi.

“Hem..berani-beraninya kamu berbicara seperti itu kepada Puteri Beatrix?” ungkap seorang pelayan wanita yang mengunakan pakaian serba hitam. Pelayan yang tadinya berdiri di samping gadis angkuh ini sepertinya tidak menerima perkataan yang dilontarkan Monica kepada ‘tuannya.’

Monica merebut kembali gaun ungu muda itu. Sementara wajah Rugby, tiba-tiba sudah tampak pucat pasi.

“Berpakaian bagus, keturunan bangsawan tetapi tidak tahu cara menghormati sesame. Maaf yah, saya tidak akan menghormati orang seperti anda. Mau anak Raja, anak siapa kek..Whose care!” kata Monica.

“Apa katamu?” kata pelayan itu sambil melayangkan telapak tangganya untuk menampar tapi tak kesampaian karena lengan monica terlalu cepat menangkis bahkan memelintirnya sehingga kesakitan.

Tapi.. satu kalimat menghentikan tindakannya itu. “Pengawal tangkap dua gadis gelandangan ini” teriak Beatrix yang sedari tadi tampak kesal dengan perkataan Monica.

Dua orang lelaki berbaju zirah yang tadinya ada di pintu toko bersama beberapa pengawal lainnya pun berjalan ke arah Monica dan Rugby.

“Aku tidak takut!” bisik Monica kepada Rugby
“Hentikan!” suara pria terdengar dari pintu  toko.

Baru saja beberapa langkah berjalan, kedua pengawal itu terpaksa berhenti karena perintah dari suara tersebut. Pria bertubuh kekar dengan baju layaknya seorang pangeran pun mendekat mereka yang sedang bersih tegang didalam tengah-tengah toko.

“Kamu jangan membuat masalah lagi,” bisik pria berwajah tampan ini kepada Beatrix.

Bronly namanya. Pria ini ternyata adalah kakak dari Beatrix anak bangsawan di Euro World.

“Awas kalian.. Beruntung saja karena kakakku datang.. Kalau tidak?..,” ucap Beatrix perlahan dengan nada sinis dan mata yang melotot tajam.

“Kalau tidak kenapa? Kamu pikir aku takut? Dasar wanita angkuh!” teriak Monica yang membuat Beatrix membalikkan badannya lagi dengan wajah merah karena amarah

“Apa katamu?” teriak Beatrix. Kali ini nada suaranya tinggi

Beatrix berjalan agak cepat kembali menuju ke arah Monica dan Rugby. Ia ingin menjambak Monica, dan baru saja Ia mencoba menerkam, Monica menangkis tangannya dan membuat Beatrix terpeleset dan jatuh ke lantai.

Kontan suasana itu membuat semua yang ada di toko termasuk pelayan dan pengawal Beatrix spontan tertawa. Beatrix seperti menangkap angin. Beruntung Ia terjatuh di antara  tumpukan baju di toko itu. 

Semuanya tertawa dan Beatrix makin geram. Monica dan Rugby pun ikut terbahak-bahak lalu menyelusup keluar dari toko memanfaatkan kebinggungan para pengawal yang sibuk menolong puan mereka.

Bronly melihat Monica dan Rugby menyusup lari lewat pintu samping toko itu. Namun Ia sengaja membiarkan mereka karena berpikir mereka hanyalah gadis biasa yang sial bertemu adiknya yang sombong itu.

Beartix dan Bronly adalah anak penasihat kerajaan yang merangkap Wali Kota Meares. Kendari kakak beradik namun anak dari Franklin dan Kasanra ini memiliki perangai yang berbeda. Brpnly serang pria tampan yang sadar dan dermawan sedangkan Beatrix seorang gadis yang manja, angkuh dan pendendam.

Monica dan Rugby lari menuju pasar Meares yaitu pasar terbesar di Ibukota kerajaan ini. Ada rasa senang bercampur khawatir di hati mereka karena tindakan mempermalukan anak bangsawan tadi.

“Ayo kita cari Anthony dan bergegas pulang,” ujar Rugby.
“Kau carilah kakakmu aku mau membeli sesuatu di toko itu.”
“Kita bertemu di tempat aku menaruh kuda tadi. Secepatnya karena sebaiknya kita segera pulang.”
“Baiklah Puteri Inmer,” kata Monica, bercanda seraya menirukan gaya bicara pelayan para bangsawan seperti yang dilakukan pelayan Puteri Beatrix tadi.

Monica pun berjalan menuju sudut pasar itu. Matanya tak berhenti melihat sekeliling, waspada jangan sampai bertemu Puteri Beatrix atau bangsawan angkuh seperti itu. Ada rasa syukur di hari Monica karena selama berjalan menuju toko itu yang ada hanyalah orang-orang yang melepaskan senyum kepadanya.

Ketika tiba di depan sebuah toko klontong di sudut pasar itu, langkah Monica harus terhenti. Dua pengawal Beatrix tiba-tiba merangkul tangannya. Yang satu dilengan kana dan satu dilengan kiri. Tanggannya di satukan di pinggang belakang. Monica merasa seperti terborgol. Tak bisa bergerak.

Monica mencoba mencari bantuan. Siapa? Sosok bayangan Rugby dan Anthony saja tidak ada. Dua orang ini mungkin adalah orang yang dia kenal dari ribuan orang yang berlalu-lalang di kawasan ibukota kerajaan Meares ini. Ia berusaha membalikkan badannya tapi dua pria berbadan kekar ini benar-benar tak tergoyahkan. Ia pun tak kuasa bergerak karena di samping dan dibelakang ada lagi pengawal lainnya.
“OhTuhan.. Aku tak boleh mati di negeri asing ini,” seru Monica dalam hatinya.

Monica terus berusaha untuk bergerak. Tapi tak bisa!

Entah apa yang diucapkan Beatrix kepada pengawal-pengawalnya. Monica tak begitu jelas mendengarnya lagipula yang ada dibenaknya hanyalah melarikan diri.

Disaat kedua pengawal itu tertawa dan lengah, Monica berhasil mendaratkan pukulan  di bagian kepala dua pengawal yang mencengkramnya. Pukulan itu setelah kaki seorang pengawal berhasil diinjaknya.

“Brak..Brug..Buft..Buft..” seorang pengawal berhasil Monica jatuhkan ke tanah. Monica pun mempraktekkan jurus karatenya tapi ini bukan ujian kenaikkan sabuk, ini ancaman sungguhan.

Pertaruangan pun tercipta. Warga yang ada di kawasan itu pun menonton peristiwa perkelahian ini. Ada satu sisi kosong dan Monica berusaha lari karena pengawal yang dibawa Beatrix berjumlah lebih dari 10 orang.

Monica pun terpojok sampai ke tempat parkir kuda.  Disana ada The White Horse yang berhasil melumpuhkan 2 pengawal yang berusaha menangkap Monica.

“Oh Tuhan tolonglah aku..” ucap Monica, ketika melihat selusin pasukan datang lagi untuk menangkapnya.

Secepat kilat Monica berhasil merebut sebilah pedang dari pengawal yang berhasil di jatuhkan The White Horse. The White Horse dalam keadaan terikat dan Ia pun tak bisa membantu puan barunya selain Victoria yaitu Monica.

“Untunglah aku ikut kelas anggar di sekolah,” guman Monica dalam hatinya ketika sudah mengenggam pedang itu.

Pertarungan pun terjadi. Monica terus memberikan perlawanan yang cukup berarti. Makin memanas dan walaupun sudah berhasil menjatuhkan beberapa pengawal namun Monica kelelahan. Tak ada orang lain yang membantunya. Rugby dan Anthony belum juga datang.

Sudah 5 orang pengawal berhasil dijatuhkannya. Dan akhirnya sebuah mata pedang hamper saja menyayat leher seorang pengawal yang sepintas terlihat masih seumurannya. Monica tak tega.

“Aku tak mau membunuh!” serunya dalam hati.

Dalam kegalauan itu, dua pengawal lainnya melumpuhkan Monica. Monica tak berdaya. Dua bilah pedang itu harus dilepaskannya. Ia kalah.

Tiba-tiba.. 
“Sring…” Bunyi dentuman pedang yang saling menjilat terdengar begitu nyaring.

Seorang pria berjubah hijau tua menghantam pedang yang sedang dihujumkan dekat di leher Monica. Pria bertopeng ini tiba-tiba melompat dari atap toko. Ia menyerang pengawal yang menahan Monica.

Pria misterius ini meloncat bagaikan Kangguru. Pun secepat kilat, Monica yang tadinya ada di genggaman para pengawal Beatrix kini sudah berpindah dalam genggamannya.

“Sssuit..” siulan itu membuat puluhan kuda yang terparkir disitu berteriak termasuk The White Horse. Bahkan The White Horse berhasil melepaskan ikatan dari pelananya dan mendekat kea rah pria misterius yang sudah berhasil mengamankan Monica dari para pengawal disitu.

Secepat kilat, pria ini sudah berada di atas The White Horse membonceng Monica dibelakangnya. Monica hanya terdiam, menyadari siapapun pria ini, dia sudah menyelamatkan nyawanya. Puluhan pengawal Beatrix mencoba menyerang tapi The White Horse secepat kilat keluar dari lokasi itu. Melalui gang-gang sempit di kota itu dan sepertinya jalan-jalan rahasia yang tadinya tidak dilalui Monica saat datang sehingga mereka tiba di luar kota dengan sangat cepat.

Sekitar 1 kilometer dari kota mereka berhenti. Tidak ada satu orangpun yang mengejar mereka.  Mereka turun dari punggung The White Horse seraya menepi disitu. Kebetulan ada sebuah sungai kecil dengan air jerih di situ.  The White Horse bergegas minum dan Monica pun ikut mengambil air lalu membilas wajahnya yang sudah berdebu.

Pria misterius ini tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Kamu siapa? Kenapa menolong aku?” tanya Monica.

Pria bertopeng dan berjubah warna hijau tua ini justru memalingkan wajah seolah tidak mengubris pertanyaan itu. Pria ini berdiri ditepi sungai seraya menatap aliran air disitu.

“Apa kamu bisu?” guman Monica
“Kamu tidak akan memperkosa aku disini kan?”

Saat mendengar pertanyaan itu, pria bertubuh tinggi ini pun memalingkan wajahnya menatap Monica. Ada kerutan di dahinya. “Sepertinya Ia tertawa” pikir Monica heran.

Pria itu pun duduk sambil di akar sebuah pohon rindang tempat disamping sungai itu. The White Horse berdiri di antara pria itu dan pinggiran sungai. Monica pun memilih sedikit merebahkan pundaknya di batang pohon itu. Mereka duduk berdekatan namun pria ini tidak bicara sedikitpun.

Sudah 10 menit berlalu dan Monica terus mengoceh tentang dirinya. Ia mengaku betapa senangnya bisa berada di kota namun betapa sebelnya ketika ada Puteri Beatrix yang menganggu acara jalan-jalannya.

Monica terus mengoceh, termasuk keinginannya untuk menyusup ke dalam istana Raja Meares. Ia bertutur ingin sekali melihat raja, permaisuri dan pangeran-pangeran yang tampan.

“Tapi sepertinya tidak semua pangeran itu tampan sekaligus baik. Nyatanya si Richard katanya pangeran tapi menyebalkan,” ocehnya.

Pria misterius yang sedari tadi tak melepaskan dua bilah pedang dari pinggangnya ini hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat Monica dan ekspresinya saat bicara. 

Belum selesai bercerita, tampak dua orang berkuda dari kejauhan. Semakin mendekat ternyata Monica menyadari jika itu Anthony dan Rugby. Betapa senang hatinya mereka ternyata selamat.

Monica pun meloncar dari pohon rindang itu menuju ke jalan. Ia berlari mendekati Rugby yang langsung meloncar turun dari kudanya saat melihat Monica.

Monica pun mengatakan dia sedang bersama seorang pria yang telah menolongnya dari serangan pengawal-pengawal Puteri Beatrix.

“Kamu membuat kami panik! Seharusnya kamu menunggu kami di parkiran kuda,” koar Rugby.

“Aku tadi..”

“Sudahlah.. Ayo kita pulang” lanjut Rugby—sepertinya tak tahu peristiwa yang baru saja dialami Monica—

“Aku tadi diserang pengawal Beatrix!” teriak Monica membuat wajah panik Rugby dan  Anthony.

“Kamu tidak apa-apa kan?” Anthony bergegas  turun dari kudanya dan memperhatikan Monica lebih seksama. Ada beberapa memar di lengannya namun Monica tak member tahu mereka.

“Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Oh yah ada orang yang membantu aku. Ayo kita ke sungai aku ingin memperkenalkannya pada kalian,” ajak Monica.

Saat Monica membalikkan badannya, Ia terperajat. Pria yang tadinya duduk bersandar di pohon rindang itu sudah lenyap. Hanya ada The White Horse yang sedang berdiri seakan menunggu ajakan pulang.

“Tadi.. dia ada disitu” kata Monica berusaha meyakinkan Anthony dan Rugby.

Monica terheran-heran karena secepat kilat, pria itu menghilang. Ia bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih. Walaupun memang Ia sempat was-was dan berpikir macam-macam tentang pria bertopeng ini.

“Apakah kamu baik-baik saja?” Tanya Anthony penuh nada perhatian.
“Tidak apa-apa brother. Aku hanya sedikit kepanasan,” jawab Monica.

Rugby pun member isyarat kepada Monica agar jangan dahulu memberitahukan kejadian di toko tadi kepada Anthony. Ia takut kena marah kakaknya yang terkenal tidak suka berkelahi. Anthony pun tersenyum kepada Monica yang salah tingkah karena serba salah dengan apa yang diisyarakatkan Rugby padanya.

Sebelum menunggangi The White Horse menuju pulang ke Kastil Victoria, Monica menemukan topeng milik pria misterius ini tertinggal di bawag pohon. Segera Ia mengambil topeng berbahan kuliit berwarna dasar cokelat tua itu untuk disimpannya.

Dalam perjalanan pulang, Rugby dan Monica tak berbicara soal masalah di toko. Yang ada hanyalah cerita Monica tentang kesan pertamanya jalan-jalan di ibukota Kerajaan.

Rugby pun terus mengoceh tentang pendapatnya tentang sikap Puteri Beatrix. Monica pun seolah-olah mendengarkan apa yang diceritakan Rugby tapi sesuangguhnya Monica sedang memikirkan siapa pria mesterius yang menolongnya itu? Apakah memang banyak orang-orang menjadi pahlawan bertopeng ?

Ia terus memikirkan pria yang telah menyelamatkan nyawanya ini. Ada rasa aman ketika digenggam kedia tangan lembut pria ini. Bahkan Monica merasa sangat aman ketika naik kuda berdua dengan pria berjubah hijau ini.

“Matanya cokelat muda.. Dia misterius tapi pastinya dia tampan“ guman Monica berkhayal.

“Aw…” teriak monica karena hampir terjatuh, untunglah Anthony tepat berada disampingnya. 
“Jangan melamun gadis cantik,” kata Anthony 
“Terima kasih Anthony atas pujiannya juga. Nanti kamu aku traktir minum anggur," ujar Monica membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak dalam perjalanan pulang itu. 
Anthony dan keluarga memang punya banyak persediaan anggur.

Monica mampir di rumah keluarga Manstill. Saat tiba di situ Marthin telah menantinya dengan kereta kuda. “The white horse tinggalkan saja di kandangnya. Nona Monica silahkan pulang bersama saya.”
“Iya Marthin, tapi kita minum anggur sedikit dulu yah.” 
“Siap nona…” Marthin tersenyum.

Tak terasa hari sudah sore, mentari mulai menepi menuju peraduannya. Monica pun pamit pulang kepada keluarga Manstill terutama Rugby yang adalah satu-satunya teman sebaya dia.

Dalam perjalanan pulang Marthin yang mengendarai kereta kuda tampak aneh. Ia terus menatap pakaian Monica yang terlihat kotor itu. 
“Nona…Apakah tadi kamu terjatuh dari kuda?” Marthin ingin mengentikan rasa penasarannya.
“Tidak…hanya terpeleset depan toko makanya di bawah lengan ada yang sobek. Kesempitan juga sih baju ini,” katanya menutupi peristiwa gaduh tadi.
Marthin tak kuasa menahan tawa. Monicapun ikut tertawa.


***

Tiba di kastil Victoria, Monica bergegas ke kamarnya. Ia ingin segera mandi dan menganti baju. Di kamarnya yang ada di lantai 2 kastil itu terdapat kamar mandi di dalamnya, jadi Monica segera bergegas ke situ. “Brugh…” disambarnya pintu kamar mandi berbalut handuk itu ternyata Pangeran Richard sedang berendam tanpa pakaian di dalam bak mandi di situ. Untunglah busa sabun menyamarkan tubuhnya yang putih mulus itu. Monica pun hanya berbalut kain putih.

“Aw…” teriak keduanya, kaget. Mereka saling menatap kaget, sebal dan panik. Wajah keduanya menjadi merah.

Bukan hanya wajah, telinga Monica pun ikut memerah. Monica segera berlari mengambil kimono melapisi balutan kain tanpa lengan yang biasa di kenakannya saat menuju kamar mandi. Dari samping tempat tidur itu, dia langsung lari keluar kamar. Ia turun ke dapur dan menceritakan ketidaksengajaannya itu pada Emma dan Victoria yang sedang menyiapkan makan malam. Kejadian barusan itu, membuat mereka tertawa terbahak-bahak.

Makan malam pun tiba. Seperti biasa, Monica masih berada dikamarnya. Ia terus memandang topeng yang ditemukannya itu lalu senyum-senyum teringat pertemuan mereka tadi. 

“Aku ingin bertemu kamu lagi, pria bertopeng,” kata hatinya. 
”Aku yakin kamu tampan dan baik hati. Aku ingin menjadi fansmu…Aku akan melupakan Leonardo yang sedang PDKT padaku…“ bisik Monica mengema di ruang kamarnya itu.

Sementara itu, Emma tengah meneriakkan namanya agar ia segera turun untuk makan bersama. Ia pun turun dengan mengenakan gaun berwarna hijau muda. Cantik gaunnya, secantik orangnya. 

Saat monica melangkah menuju tempat dinner di taman kastil, lilin dan lentera disitu seakan sedang menyanyi riang, bunga-bunga seakan bersiul, Victoria, Emma, Marthin dan Richard terpesona melihat penampilan dan kecantikanya itu. Namun, entah kenapa tidak ada kata pujian dari mulut pangeran Richard.

“Memang di duniamu, terlambat berkumpul di meja makan hal biasa yah? “ ungkap Richard dengan nada ketus persis ketika Monica duduk di depan meja makan. Perkataan Richard itu membuat Monica marah dan sedih. Apalagi kata “duniamu” membuat ia benar-benar teringat pada mama, papa, kakak, dan teman-temannya.

Monica tak jadi makan. Ia meninggalkan kursinya, lalu berlari secepat kilat menuju kamarnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Sebelumnya ia sempat membanting sarbet makanya di depan wajah Richard.  Richard hanya tertawa menikmati olokannya yang sukses membuat selera makan Monica hilang. “Katanya jagoan, tetapi cengeng juga hahaha,” bisik Richard pada Marthin, penuh makna.

Victoria hanya tersenyum. Mereka tetap melanjutkan makan malam ayam panggang saat itu. Lagipula, Victoria tahu perasaan Monica yang sedang labil karena berada jauh dari keluarganya. 

“Biarkan Monica istirahat. Tapi Richard, sebelum pulang ke istana, kamu harus minta maaf kepadanya,” kata Victoria datar lalu kembali mencicipi steak ayam dari piringnya. “Iya bibi. Lagipula saya masih punya banyak waktu disini,” jawab Richard lembut.

“Apa gerangan yang membuatmu betah?" Emma bertanya penuh makna dengan lirikan mata yang menggoda. 
"Masakanmu Emma dan bibi tentunya,"
"Apa kau tidak merindukan aku?" Sela Marthin yang membuat mereka semua tertawa.


***

Monica menangis. Ia terus merenung di kamarnya. Sesekali ia menatap keluar jendela melihat pegunungan hijau yang tampak samar karena hanya diterangi sedikit cahaya bulan dan bintang. Namun, entah apa yang ada di dalam hutan itu. Hampir satu jam ia melamun. Binggung akan keberadaan dirinya. Ia seakan tak mengenal dirinya lagi. Siapakah aku di negeri asing ini? tak terbendung, matanya kembali mengeluarkan air mata. Hal tersulit untuk dilakukannya adalah menangis di depan banyak orang namun mala mini perasaannya benar-benar sedang berkecamuk membuat sensitif dan cepat sekali emosi.

“Bolehkah aku masuk? “ ujar Richard dari depan pintu kamar. 
“Masuk saja. Lagipula ini kamarmu“ kata monica sinis. 
Monica tetap berdiri di depan jendela sambil memeluk ke dua tangganya.  
Richard hanya tersenyum lalu, berdiri disampingnya. 

“Hem… aku mau minta maaf,” 
“Maaf apa?” 
“Saat makan malam tadi. Aku tak bermaksud begitu... Maaf jika sudah membuatmu sangat sedih.. Maaf karena aku tak mengerti perasaanmu yang...”
“Memang tahu apa kamu tentang perasaan? Apalagi kaum bangsawan sepertimu tahunya hanyalah bersenang-senang,” 

Diam sejenak dan Richard tersenyum sembari menatap Monica.
"Sebagai permohonan  maaf aku mau mengajakmu jalan-jalan dan makan di Kota. Tapi kalau kamu tidak mau, aku tak memaksa,” bujuk Richard.

Monica terdiam. Dalam hatinya ia tergiur. Tawaran Richard bisa membuatnya kembali menikmati hidupnya dengan tersenyum di dunia barunya ini. Monica masih berpikir tanpa menjawab apa-apa sampai Richard sudah berada di luar pintu kamar.
“Iya…iya…boleh deh…”

Richard tersenyum lagi lalu pergi ke kamar tidur yang lain, di kastil itu. Pikirannya menjadi sangat bahagia. Entah kenapa. Mungkin bahagia karena selama menjadi pangeran, semua orang di sekitarnya tak berhenti mengucapkan pujian namun, di kastil ini ia menemukan seseorang yang memandangnya sama seperti manusia lainya. Seorang manusia biasa, yang bisa dimarahi apabila berbuat salah ataupun salah berkomentar.

Seseorang yang jutek tapi cantik. Seseorang itu mirip bibinya Victoria dan kini ketambahan Monica yang selalu bersikap sinis kepada dirinya. Entah kenapa. Semua itu  punya arti tersendiri bagi Richard. "Monica adalah gadis yang special." gumannya sebelum berdoa dan tidur.

***

Sungguh hari yang melelahkan bagi Monica lepas dari semua itu, ia tetap bersyukur bahwa Tuhan masih memberinya nafas kehidupan bahkan orang-orang yang baik di euro world yang masih asing baginya ini. Pagi-pagi benar monica sudah bangun. Bahkan ia segera mandi dan berpakaian rapih. Segera ia menuju kamar Richard untuk menagih janjinya pergi jalan-jalan ke Kota Meares lagi.

Richard masih tertidur nyenyak di atas kasur empuknya. “He pangeran aneh, ayo bangun! Mana katanya mau ajak aku ke kota,” tanya monica seraya menggoyang-goyangkan tubuh Richard yang masih menyatu dengan selimut. 
“Memangnya ini sudah siang? Richard kaget sambil mengucek-ngucek matany. Ia masih mengantuk.

“Rapih sekali kamu Monmon,” kata Richard seraya tertawa masih berbalut selimut. “Namaku Monica bukan Monmon,” 
“Kalau kamu tak mau aku panggil Monmon…Yahh... Kubatalin rencana jalan-jalan hari ini…” 
“Iya-iya terserah. Mandi sana kamu udah BB” 
“BB apa?” Richard bingung.
“Bau Badan tau! Itu istilah di daerah asalku kata Monica lalu tertawa terbahak-bahak. “Kalau begitu kamu keluar kamar dulu. Aku mandi dulu,” perintah Richard.

“Nggak... Aku mau tunggu di sini supaya kamu cepat ganti bajunya,” 
“Lah, aku tidur telanjang sekarang…Aku mau bangun kamu di sini…Apa kamu mau lihat aku telanjang?” kata Richard. 
“Yehhh…Jangan GR kamu! 
“Apa lagi itu GR?” 
“Gede rasa, kepedean, sok tahu,… Buruan mandi… Ya sudah, aku tunggu di taman sekalian mau pamitan ke Victoria,” 
“Victoria… Kamu sopanlah sedikit. Sebutlah Bibi Victoria,” 
“Iya pangeran manja,” 

Monica bergegas pergi sambil melemparkan bantal tepat mengenai wajah Richard yang sedang menatapnya dengan mata berbinar.

Richard hanya tertawa heran. "Gadis ini unik." Hatinya makin penasaran dengan gadis yang belum jelas asal-muasal negerinya ini. 

Monica duduk di bangku taman depan. Saat itu Veronica, Emma dan Marthin sedang berada di dapur yang ada di bagian belakang kastil.

Ombak pantai menggertak telinga. Langit tampak mendung di arah barat. Mentari pagi itu seakan malu-malu untuk menyapanya. Richard turun dari kamarnya. Ia tidak mengenakan busana seperti saat ia tiba. Ia hanya mengenakan kemeja putih, celana koboy, sepatu boot dan topi koboy. Tak lupa, dua bilah pedang tetap dibawanya.

Monica tampak bersemangat dan segera menyapa Richard. 
“Jadi kan kita ke kota?” 
Richard terdiam sejenak. Dia sibuk merapikan letak dua pedangnya di pinggang. 
Monica menatapnya tajam. 
“Ini mau jalan-jalan atau pergi berperang?” 
“Di Euro World kita harus selalu bersenjata untuk melindungi diri.” 
“Ayo kita minta izin ke bunda Victoria” 
“Itu dia masalahnya (sambil duduk di kursi taman, di samping Monica) Bibi menugaskan aku hari ini untuk mengunjungi kebun anggurnya. Ada yang harus aku urus. Bukanya aku tak mau menepati janji tapi Bibi memerlukan bantuanku,”

“Yah…baiklah…nanti saja” wajah monica tampak masam. Segera ia tinggalkan Richard di kursi taman itu. Monica menuju ke dalam kastil. Namun sebelum langkahnya membawa ia terantuk batu. Richard yang sedang menatapnya dengan perasaan bersalah pun tertawa. 
“Monmon hati-hati…” kata Richard yang tak dihiraukan Monica. 
Richard duduk di kursi taman. Ia tampak sangat menyesal telah mengecewakan Monica gadis special ini.

Richard pun segera menuju ke samping kanan kastil di mana kereta kuda sudah disiapkan Marthin untuk dipakainya. Richard memeriksa keadaan kereta kuda itu. “Apakah perlu saya temani tuan?" kata Marthin.
“Tak usah. Lagipula di sana ada keluarga Manstill."

Teriakan kuda terdengar. Kereta kuda siap meluncur. Tiba-tiba terdengar teriakkan dari seberang kandang kuda itu. 
“Bolehkah aku ikut bersamamu ke kebun anggur? Aku bosan tinggal di kastil saja,” Monica muncul dari balik pohon-pohon kecil yang membatasi kastil dan kandang kuda itu.

“Tentu saja boleh Monmon…” kata Richard tanpa berpikir panjang. Mereka saling menatap dan tersenyum. Jantung Richard berdetak lebih cepat dari biasanya. 
"Kamu sudah pamintan ke bibi?"
"Sudah"

Monica pun duduk di depan tepat di samping Richard. Ia tak mau duduk dibelakang. “Mudah-mudahan Rugby dan Anthony ada di sana. Supaya aku bisa bertemu mereka dan bermain-main,”
Richard terus tersenyum melihat gerakan tubuh Monica yang tak biasa diam. Richard mengemudikan kereta kuda ini dengan baik. Sesekali matanya tak hanya menatap tali kendali tapi menatap Monica yang tampak ceria bisa menikmati udara sejuk di luar kastil.  "Cantik dan unik, pantas Bibi Veronica terpikat padanya," gumannya dalam hati.

Dalam perjalanan ke kebun anggur. Richard lebih banyak diam. Monica terus bicara tentang dirinya dan dunia tempat ia berasal. Ada rasa percaya terhadap yang dikatakan Monica. Walaupun Richard tak pernah mau meyakini bahwa ada dunia lain selain Euro World.

Di Lembah Patah Hati
Hari hampir siang saat mereka tiba di rumah keluarga Manstill di kebun anggur. Sayangnya, Rugby dan Anthony tidak ada. Mereka baru saja berangkat ke kota untuk menjual sejumlah hasil panen anggur yang telah matang. 

Monica pun hanya bisa berusaha menikmati jalan-jalannya bersama Richard. Ucapan Richard bahwa ia datang memenuhi perintah Victoria dalam agenda pengawasan di kebun anggur ini membuat Monica merasa senang. Ia berharap bisa membantu Richard dan otomatis membantu Victoria yang telah menyelamatkan hidupnya dan menampungnya.

Namun, ternyata Richard punya tujuan yang lain. Ia datang bukan untuk sekedar melihat kondisi kebun anggur. Ia datang untuk mengambil obat untuk ibunya (permaisuri raja). Ibunya menderita penyakit misterius yang tiada obatnya. Hanya ada obat berupa tumbuhan yang hanya terdapat di hutan seberang kebun anggur milik Victoria inilah yang mampu mengurangi rasa sakitnya.

Setelah bertemu Rudien dan Mariam Manstill mereka berdua segera menuju lokasi obat tersebut yang berjarak 30 menit dengan berjalan kaki menyusuri kebun anggur dan sepenggal kawasan hutan. Saat melewati sungai kecil, Monica terpeleset dan tercebur sungai. Pakaianya basah sehingga ia pun merasa sebel dengan keadaannya itu. Jelas, Richard tertawa dan sangat menikmati kekonyolan Monica merespon sialnya hari itu.

Karena perjalanan masih cukup jauh untuk sampai dirumah kaca tempat tanaman obat itu tumbuh, Monica pun merobek bagian bawah gaunnya supaya ia lebih enak melangkah.

Rumah kaca itu tersembunyi dibalik pepohonan dan terletak di sebuah lembah bernama Lembah Patah Hati. Betapa kegetnya monica melihat aneka warna warni bunga juga terdapat di dalam bangunan persegi berbentuk rumah kaca itu. “Hanya aku, bibi, Marthin, dan keluarga Manstill yang tahu tempat ini dan juga tentang obat ini,” kata Richard kepada Monica. 

Rasa lepek dan sebel Monica menjadi hilang karena melihat keindahan dan ketenangan di tempat itu. Seperti taman bunga yang indah di tengah hutan. Monica pun duduk di atas batu besar yang berbentuk datar. Direbahkannya tubuhnya kendati berbalut pakaian basah itu di atas batu. Sementara Richard memetik tanaman obat untuk ibunya di sekitar tempat itu.

Monica yang sedang melamunkan pertemuan pertamanya dengan pangeran bertopeng yang menolongnya sewaktu berkunjung di kota harus terganggu. Richard memanggilnya agar bisa ikut memetik bunga mawar hutan yang ternyata obat mujarab di negeri itu.

”Monmon, aku harap kamu mau membantuku. Aku harus memetik 1000 kuncup sedangkan langit sudah mau hujan. Agar kita bisa segera pulang bisakah kau menolongku? Tapi kalau tidak bisa tak apa-apa.” 
“Tentu saja bisa…Kenapa tak bilang dari tadi? Dasar gengsi!"
"Hahahaha.."
Keduanya tertawa.

Monica bergegas turun dari batu datar itu. Ia begitu bersemangat membantu memetik mawar itu tapi baru beberapa kuncup, tangannya sudah tertusuk duri. Richard segera menghisap darah beracun di jari telunjuknya itu. Mereka pun saling menatap. Ada getaran yang aneh dihati ke dua anak muda ini.

Monica segera mengucapkan terima kasih lalu segera kembali memetik obat itu. Namun hatinya tak mau berbohong Richard memang tampan dan mengoda hatinya.

"Warna mata Richard sama dengan warna bola mata pangeran bertopeng. Ah…bukan dia. Tak mungkin pangeran manja ini dia. Saat ke kota dia sedang ada di kastil." 
"Jangan melamun Monmon...Keburu malam nanti"

Hampir dua jam dan Monica kelelahan. Sudah sekitar 900 kuncup dan Monica memilih merebahkan dirinya di atas batu datar tadi. Ia mencoba tidur sejenak. Richard pun merasakan hal yang sama. Ketika genap 1000 kuncup, Richard pun ikut merebahkan diri di samping Monica. 

Sesaat kemudian, rasa capek itu seperti hilang. Seperti ada energi yang menyatu ketika keduanya bersampingan.  Mereka berdua menatap ke langit, masing-masing seperti sedang menatap kehidupannya.

“Terima kasih kau telah menolongku tadi di sungai.” Monica.
“Itu sudah tugasku” 
“Terus terang awal berjumpa denganmu aku pikir kamu itu orangnya sombong, yah pangeran aneh dan sombong” 
“Tapi tidak begitu kan?” guyon Richard lalu bangun dari rebahannya dan duduk.

Monica ikut duduk. Keduanya tersenyum menatap ke arah hamparan bunga mawar yang masih banyak di situ. Tiba-tiba Richard membalikkan tubuhnya dan refleks mencium bibir merah Monica. Monica kaget dan marah. Ia segera bangkit menuju jalan pulang tak peduli hujan gerimis yang sedang turun. Hal itu terjadi begitu saja…

Dalam perjalanan pulang hingga tiba di Kastil Victoria, mereka tak saling bicara. Monica membisu dan Richard pun serba salah. Ada rasa bersalah di hati Richard. Namun, hal itu terjadi spontan. Richard jatuh cinta kepada Monica. Apakah Monica juga demikian?

*bersambung












Tidak ada komentar:

Posting Komentar