Aku bukan lagi
mahasiswa. Aku sudah sarjana dan bekerja di perusahaan yang tak menuntutku
harus menggunakan seragam. Jika melihatku sepintas, memang banyak yang bilang
aku masih terlihat seperti mahasiswa semester lima atau enam. Hahaha...
“Jadi
sekarang kuliah jurusan apa?”
Pertanyaan
yang sama. Kali ini dari Ibu Diana pemilik warung makan yang ada di samping
tempat cuci mobil, langgananku.
“Mahasiswa?
Aku sudah kerja, Bu...”
“Oh.. umur
berapa Nona?”
“Hampir tiga
puluh bu. Mungkin awet muda yah, soalnya sering tertawa dan selalu berbuat baik.”
kataku lalu tertawa.
Aku mulai mengunyah
mujair goreng berlumur sambal pedas dan kangkung cah. Kegemaranku. Ibu Diana baru saja menyajikannya. Warung
belum ramai. Hanya kami berdua di situ.
“Suka batang
kangkung yah? Ada juga polisi muda yang
suka begituan. Heren juga yah, banyak yang minta bagian daun, tapi ini, minta
lebih banyak bagian batangnya,” ujarnya.
“Polisi?
Pasti lantas yang jaga di pos dekat sini yah?”
“Bukan.
Polisi muda masih 30-an umurnya. Tugas di Polda. Dia suka mampir. Katanya bosan
makanan resto, ingin makanan kampung yang sederhana.”
“Ohhh...
Keren juga, yah.” Aku terus melahap.
“Tapi dia
memang sudah punya isteri. Polwan. Tugasnya di daerah lain. Jadi mereka ketemuan
dua minggu bahkan bisa sebulan sekali.”
“Wah...
Kasihan juga yah... Sudah menikah terus hubungan jarak jauh. Tersiksa tuh...” celotehku
asal.
“Oh iya...
Ini polisi ini memang kasihan sekali. Dia suka curhat ke ibu. Dan sekarang dia
mau, ibu cariin mahasiswa atau anak SMA yang butuh uang sekolah. Dia mau bantu.
Asalkan mau jadi isteri keduanya. Paling hanya jika dia butuh.”
“Uhukkk...”
Aku hampir keselek.
Aku
baik-baik saja. Aku diam. Tapi seperti biasa, jurus mautku untuk mencari tahu
lebih banyak.
Ku gapai
ponselku, berlagak melihat pesan masuk tapi aku mengaktifkan fungsi rekam di blackberryku.
Ibu ini terus berbicara. Akh... Semoga memory cardku cukup.
“Dia tidak
mau sembarang. Takut AIDS dan penyakit aneh-aneh, kan bahaya toh? Dia mau perempuan
muda yang setia. Yang saling membutuhkan. Kalau saja saya masih muda, saya
maulah. Dapat duit, sama-sama enak. Jadi nanti digaji perbulan, itu diluar kost
elit ataupun kalau memang cocok akan dikontrakin rumah. Kalau yang masih
sekolah nanti dia kuliahkan dan kalau sudah kerja nanti dia tanggung biaya
hidup dan kebutuhan-kebutuhan lain.”
“Oh yah?”
Kali ini aku sudah berbicara saling berhadapan dengan Ibu Diana.
“Iya,
soalnya ada temannya polisi juga begitu. Sudah tiga tahun dia punya simpanan. Tak
pernah ketahuan karena jarak juga. Aman-aman
saja. Bahkan, teman polisinya ini sudah biayai anak ini dari SMA sampai sekarang
kuliahnya hampir selesai. Anak ini tak begitu cantik hanya memang kulitnya
putih mulus dan bisa simpan rahasia.”
“Servicenya
bagus berarti bu...” Aku tertawa lagi.
“Selingkuhan
temannya ini, masih keluarga dekat isterinya juga. Makanya, daripada tersiksa,
polisi muda ini juga mau cari yang seperti ini.”
“Wah.. luar
biasa. Sayangnya aku sudah punya pacar bu...”
“Oh yah?
Yang kemarin itu?”
“Iya.
Sama-sama pelayanan di gereja. Bersyukur banget dapat pacar sebaik dia.”
“Oh...
Syukurlah.”
***
“Nanti
lanjut yah bu... Saya buru-buru soalnya.”
Ku hentikan
fungsi rekam. Save data. Ibu Diana memang tidak tahu aku seorang jurnalis.